Mengapa Teknologi Metaverse Masih Belum Maksimal di Asia Tenggara?

Lead: Meski potensi metaverse di Asia Tenggara sangat besar, pengembangannya masih terkendala oleh berbagai tantangan infrastruktur dan regulasi.

H2 — Fakta Utama

Teknologi metaverse, yang menggabungkan realitas virtual (VR), augmented reality (AR), dan blockchain, telah menjadi perhatian global. Di Asia Tenggara, meskipun ada minat tinggi, implementasinya belum optimal. Menurut laporan IMARC Group, pasar metaverse di kawasan ini mencapai USD 6,4 miliar pada 2025, dengan proyeksi pertumbuhan hingga USD 141 miliar pada 2034. Namun, beberapa faktor seperti infrastruktur teknologi yang tidak merata, kurangnya regulasi, dan kesadaran publik masih menjadi hambatan utama.

Duleesha Kulasooriya, direktur pengelola Deloitte Center for the Edge di Asia Tenggara, menyatakan bahwa “Metaverse bukan lagi fiksi ilmiah. Platform metaverse awal sudah digunakan oleh jutaan orang.” Ia menambahkan bahwa bermain game adalah salah satu cara awal di mana seseorang diperkenalkan ke metaverse.

H2 — Konfirmasi & Narasi Tambahan

Menurut data dari McKinsey, metaverse memiliki potensi untuk tumbuh hingga $5 triliun pada 2030. Dalam konteks Asia Tenggara, kontribusi metaverse terhadap PDB bisa mencapai antara $800 miliar hingga $1,4 triliun per tahun pada 2035. Namun, untuk mencapai potensi tersebut, dibutuhkan regulasi yang jelas dan infrastruktur yang kuat untuk mendukung transaksi digital yang aman dan terpercaya.

Sementara itu, Rizky Pratama, seorang ahli teknologi di Jakarta, menjelaskan bahwa “Konektivitas internet yang tidak merata di Indonesia menjadi salah satu kendala utama dalam penggunaan metaverse. Banyak wilayah masih kesulitan mengakses layanan internet yang cepat dan stabil.”

H2 — Analisis Konteks

Pengembangan metaverse di Asia Tenggara juga terkait dengan adopsi teknologi blockchain dan cryptocurrency. Teknologi ini memungkinkan transaksi yang aman dan transparan, yang menjadi dasar bagi ekonomi digital di metaverse. Namun, regulasi yang belum jelas membuat banyak pemain ragu untuk berinvestasi secara penuh.

Selain itu, masalah privasi dan keamanan data juga menjadi isu penting. NFT (Non-Fungible Token) yang semakin populer di dunia digital membuka pertanyaan tentang regulasi dan stabilitas ekonomi. Meski NFT memberikan peluang baru, penggunaan yang berlebihan juga menimbulkan risiko.

H2 — Data Pendukung

Data dari IMARC Group menunjukkan bahwa pasar metaverse di Asia Tenggara akan tumbuh dengan tingkat CAGR (Compound Annual Growth Rate) sebesar 41% selama periode 2026-2034. Pertumbuhan ini didorong oleh peningkatan penggunaan VR dan AR, serta meningkatnya permintaan akan alat kolaborasi virtual akibat pandemi.

Di Indonesia, sejumlah perusahaan teknologi dan pengembang game lokal telah meluncurkan platform metaverse khusus untuk masyarakat. Namun, akses ke teknologi ini masih terbatas karena keterbatasan infrastruktur internet dan ketidakmerataan distribusi layanan digital.




Related posts