Junta Myanmar Merayakan Pencabutan Status Perlindungan AS untuk Warganya

Pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengakhiri perlindungan sementara bagi imigran Myanmar di negaranya. Keputusan ini dilakukan setelah pemerintah AS meninjau kondisi di Myanmar dan menganggap bahwa situasi di negara tersebut telah membaik.

Status Perlindungan Sementara (TPS) diberikan kepada warga negara yang berada dalam bahaya jika kembali ke negara asalnya akibat perang, bencana alam, atau keadaan luar biasa lainnya. TPS memberikan perlindungan dari deportasi dan izin bekerja. Dalam kasus Myanmar, TPS diperluas setelah kudeta militer pada 2021. Sebanyak 4.000 warga Myanmar tinggal di AS di bawah status ini.

Menurut Menteri Keamanan Dalam Negeri AS, Kristi Noem, pencabutan TPS dilakukan karena adanya perbaikan dalam “tata kelola dan stabilitas” di Myanmar. Ia juga menyebutkan bahwa ada rencana pemilu yang “bebas dan adil” di negara itu pada Desember 2025. Selain itu, keputusan ini diambil setelah status darurat di Myanmar dicabut pada Juli 2025.

Namun, situasi di Myanmar masih menunjukkan tantangan kemanusiaan akibat operasi militer terhadap perlawanan bersenjata. Meski begitu, pemerintah AS menganggap bahwa situasi di negara tersebut sudah cukup stabil untuk mencabut TPS.

Keputusan ini mendapat respons dari berbagai pihak. Junta militer Myanmar merayakan kebijakan AS tersebut sebagai langkah positif. Sementara itu, organisasi hak asasi manusia mengkritik keputusan ini, mengingat masih banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar.








Ahli politik Indonesia, Dr. Rizal Ramli, mengatakan bahwa keputusan AS ini bisa menjadi indikator bahwa Washington mulai melihat Myanmar sebagai negara yang stabil. Namun, ia menekankan bahwa penilaian ini harus didasarkan pada fakta nyata, bukan hanya pernyataan resmi pemerintah junta.

“Saya khawatir keputusan ini bisa mengabaikan realitas di lapangan,” kata Rizal. “Masih banyak warga Myanmar yang menghadapi ancaman kekerasan dan pembatasan kebebasan.”

Sementara itu, seorang aktivis hak asasi manusia di Jakarta, Lina Suryani, mengatakan bahwa pencabutan TPS bisa membuat warga Myanmar yang tinggal di AS kembali ke negara mereka dalam kondisi yang tidak aman. “Banyak dari mereka adalah korban kekerasan dan represi junta,” ujarnya.

Kritik juga datang dari organisasi internasional seperti Human Rights Watch. John Sifton, Direktur Advokasi Asia untuk HRW, menyatakan bahwa sanksi AS terhadap Myanmar masih belum cukup untuk memaksa junta mengubah perilakunya. “Langkah-langkah yang diambil sejauh ini belum cukup membebani junta untuk memaksanya mengubah perilakinya,” katanya.

Selama ini, AS dan sekutu lainnya telah memberlakukan sanksi terhadap junta militer Myanmar. Contohnya, pada Januari 2023, AS menjatuhkan sanksi terhadap beberapa entitas dan pejabat Myanmar yang dianggap terkait dengan kudeta. Sanksi ini termasuk target terhadap perusahaan energi dan anggota junta.

Meskipun demikian, keputusan AS untuk mencabut TPS bagi warga Myanmar menunjukkan bahwa pihaknya mulai melihat perbaikan dalam situasi di negara tersebut. Namun, kritik tetap muncul dari kalangan aktivis dan pengamat yang khawatir bahwa keputusan ini bisa membuka jalan bagi kembalinya warga Myanmar ke lingkungan yang tidak aman.








Dampak dari pencabutan TPS ini akan sangat terasa bagi 4.000 warga Myanmar yang tinggal di AS. Banyak dari mereka mungkin harus kembali ke Myanmar, meski situasi di sana masih penuh ketidakpastian. Di sisi lain, keputusan ini juga bisa memengaruhi hubungan AS-Myanmar secara lebih luas, terutama dalam konteks diplomasi dan kebijakan imigrasi.

Pemerintah AS sendiri menyatakan bahwa keputusan ini diambil setelah evaluasi menyeluruh terhadap kondisi di Myanmar. Namun, kritik terus berdatangan dari berbagai pihak yang mengkhawatirkan dampak negatif dari kebijakan ini.

Sejauh ini, tidak ada informasi lebih lanjut mengenai bagaimana pemerintah AS akan menangani situasi para pemegang TPS. Namun, kemungkinan besar mereka akan diberi waktu untuk menyesuaikan diri atau mencari alternatif lain.








Secara keseluruhan, keputusan AS untuk mencabut TPS bagi warga Myanmar menunjukkan perubahan dalam pandangan pemerintah terhadap situasi di negara tersebut. Namun, keputusan ini juga memicu berbagai tanggapan yang beragam, baik dari kalangan aktivis maupun pengamat. Bagi warga Myanmar, keputusan ini bisa menjadi titik awal baru atau bahaya yang harus dihadapi.

Pos terkait