Banjir Sumatera Bencana Ekologi Akibat Illegal Logging

LSM Lingkungan Sebut Banjir Sumatera sebagai Bencana Ekologi Akibat Illegal Logging

Banjir yang terjadi di berbagai daerah di Pulau Sumatera dalam beberapa bulan terakhir tidak hanya disebabkan oleh curah hujan tinggi, tetapi juga menjadi indikasi kegagalan negara dalam menjaga keseimbangan ekologis. LSM lingkungan mengkritik tindakan ilegal logging yang telah merusak kawasan hutan dan meningkatkan risiko bencana alam.

Fenomena banjir bandang yang sering terjadi di Sumatera Barat merupakan bukti nyata dari kerusakan ekologis yang terjadi secara sistematis selama bertahun-tahun. Hilangnya tutupan hutan memicu penurunan kapasitas resapan air, meningkatnya aliran permukaan, serta melemahnya stabilitas tanah. Kombinasi ini menciptakan kondisi rawan bencana yang sangat berisiko bagi masyarakat.

Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), bencana banjir dan longsor yang melanda sejumlah daerah di Pulau Sumatera dalam beberapa hari terakhir bukan sekadar akibat dari cuaca ekstrem. Mereka menegaskan bahwa bencana ini harus dipahami sebagai bencana ekologis, di mana kerusakan lingkungan dan tata kelola ruang yang tidak adil menjadi penyebab utama meluasnya dampak bencana.

Manajer Penanganan dan Pencegahan Bencana Walhi, Memeng Harahap, menyebutkan bahwa curah hujan tinggi dan eks-Siklon Tropis Senyar memang menjadi pemicu, namun akar persoalannya lebih dalam, yakni pada krisis ekologi yang telah terjadi selama bertahun-tahun. Kerusakan di kawasan hulu, maraknya aktivitas industri ekstraktif seperti tambang, perkebunan besar, serta hilangnya kawasan penyangga alam menyebabkan sistem lingkungan tidak mampu lagi menahan beban air yang besar.

Bencana ekologis adalah bencana yang disebabkan oleh kerusakan ekosistem dan lingkungan akibat aktivitas manusia, bukan semata-mata karena faktor alam. Dalam konteks ini, manusia berperan langsung dalam mempercepat terjadinya kerusakan alam yang mengakibatkan ketidakseimbangan ekologi. Contoh nyata bencana ekologis adalah banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan, hingga krisis air bersih yang terjadi akibat hilangnya hutan, rusaknya daerah aliran sungai (DAS), atau alih fungsi lahan yang tidak terkendali.

Seharusnya kawasan penyangga, baik di wilayah daratan maupun pesisir, mampu menahan dampak dari curah hujan tinggi. Namun, karena banyak wilayah konservasi dan resapan air kini berubah menjadi lahan industri dan perkebunan, daya serap tanah pun menurun drastis. Hilangnya kawasan penyangga membuat debit air hujan yang turun tidak tertampung dan langsung mengalir deras ke permukiman warga.

Akibatnya, wilayah yang dulunya aman dari banjir kini justru menjadi titik rawan bencana setiap kali musim hujan tiba. Hal ini menunjukkan bahwa kegagalan dalam pengelolaan sumber daya alam telah menjadi ancaman nyata bagi kehidupan masyarakat.

Secara normatif, Indonesia memiliki instrumen hukum yang cukup kuat untuk mencegah perusakan hutan. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan menetapkan sanksi pidana bagi individu maupun korporasi yang melakukan penebangan dan pengangkutan hasil hutan tanpa izin. Demikian pula, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan prinsip tanggung jawab negara, partisipasi masyarakat, serta kewajiban perlindungan lingkungan.

Namun realitas di lapangan memperlihatkan adanya jurang yang lebar antara norma dan implementasi. Penindakan kasus ilegal logging sering kali berhenti pada pelaku tingkat bawah, sementara aktor yang memperoleh keuntungan ekonomi terbesar justru sulit disentuh. Koordinasi antarinstansi lemah, pengawasan lapangan minim, dan penindakan kerap terhambat oleh konflik kepentingan.

Kondisi ini memperlihatkan bahwa problem utamanya bukan ketiadaan aturan, tetapi lemahnya kehendak politik dan keberanian untuk menindak pelaku yang memiliki pengaruh ekonomi maupun jaringan kekuasaan. Dari perspektif hukum lingkungan, kondisi tersebut menunjukkan belum terwujudnya prinsip strict liability, pencegahan, dan penegakan hukum yang berkeadilan.

Negara seharusnya menjamin hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, tetapi dalam praktiknya justru masyarakat lokal yang menanggung dampak dari bencana ekologis. Banjir bandang yang menghancurkan permukiman, merusak pertanian, dan menghilangkan nyawa hanyalah gejala dari kerusakan struktural yang dibiarkan tanpa intervensi tegas.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: siapa yang diuntungkan dari kerusakan hutan di Sumatera Barat? Jawabannya terletak pada jaringan kepentingan ekonomi yang beroperasi di balik praktik penebangan ilegal. Keuntungan finansial dari perdagangan kayu jauh lebih besar dibanding risiko hukum yang lemah. Ketika aparat tidak memberikan efek jera dan korporasi dapat memanfaatkan celah perizinan, maka praktik ilegal logging akan terus berulang.

Situasi ini menegaskan bahwa penegakan hukum harus ditempatkan sebagai instrumen utama penyelamatan lingkungan. Penindakan terhadap pelaku lapangan saja tidak cukup; negara perlu menembus jejaring yang lebih luas, termasuk korporasi, perantara logistik, dan pihak yang memperoleh keuntungan dari perdagangan kayu ilegal. Transparansi, integritas lembaga, dan keberanian politik menjadi syarat mutlak agar hukum tidak berhenti pada level simbolik.

Jika penegakan hukum tetap berjalan seperti sekarang, maka Sumatera Barat akan terus berada dalam siklus kerusakan dan bencana berulang. Negara tidak boleh membiarkan masyarakat menjadi korban permanen dari kegagalan sistemik. Lingkungan hidup adalah fondasi kesejahteraan, dan kegagalannya berarti kegagalan negara dalam memenuhi mandat konstitusionalnya.

Pos terkait