Semakin Mahir Berbahasa, Semakin Tunda Penuaan Dini

Penuaan dan Faktor yang Mempengaruuhinya

Penuaan adalah proses alami yang tidak dapat dihindari. Seiring berjalannya waktu, tubuh kita mulai menunjukkan tanda-tanda penuaan seperti kelelahan yang lebih cepat, penurunan massa otot, kulit yang mulai berkeriput, rambut yang beruban, dan sebagainya. Proses ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk sel-sel zombi dan stres.

Sel-sel zombi adalah sel-sel tua yang telah berhenti membelah dan menumpuk di dalam tubuh. Mereka dapat mengubah DNA dan memicu sinyal pro-inflamasi yang menyebabkan peradangan berlebihan. Hal ini dapat mengganggu keseimbangan pasokan energi ke seluruh jaringan tubuh. Selain itu, tingkat stres yang tinggi juga bisa mempercepat ritme penuaan.

Untuk menjaga agar tubuh tetap awet muda, kita perlu mengurangi jumlah sel-sel zombi tersebut. Salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan meningkatkan aktivitas fisik dan mental serta stimulasi otak. Dengan melakukan hal-hal ini, kita dapat membantu tubuh dalam menghadapi proses penuaan secara lebih baik.

Multilingualisme dan Kesehatan Otak

Salah satu cara untuk memperlambat penuaan adalah dengan belajar banyak bahasa. Multilingualisme (penggunaan beberapa bahasa) dapat meningkatkan cadangan kognitif otak. Penelitian menunjukkan bahwa orang yang mampu berbicara dalam beberapa bahasa memiliki daya ingat dan kemampuan berpikir yang lebih baik dibandingkan mereka yang hanya menguasai satu bahasa.

Namun, untuk mendapatkan manfaat ini, diperlukan motivasi internal dan lingkungan yang mendukung. Awet muda melalui belajar bahasa hanya mungkin terjadi jika seseorang benar-benar tertarik dan memiliki lingkungan yang kondusif untuk belajar.

Beberapa studi dari berbagai negara seperti Amerika Serikat, Spanyol, dan Korea Selatan menemukan bahwa aktivitas aktif seperti olahraga, belajar hal-hal baru, dan berbicara dalam beberapa bahasa dapat membantu otak tetap segar. Ini memberikan perlindungan bagi otak sehingga dapat menahan efek penuaan.

Manfaat Belajar Bahasa untuk Kesehatan Otak

Penelitian lintas 27 negara Eropa pada November 2025 menemukan bahwa monolingualisme (kemampuan berkomunikasi hanya dalam satu bahasa) dapat mengurangi lima tahun harapan hidup, sedangkan multilingualisme menambah tiga tahun lebih lama. Semakin banyak bahasa yang dikuasai, semakin kuat perlindungan bagi otak.

Selain itu, penelitian tahun 2020 juga menunjukkan bahwa orang bilingual menunjukkan gejala Alzheimer empat tahun lebih lambat dibandingkan orang monolingual. Alzheimer adalah penyakit otak yang menyebabkan penurunan daya ingat, melemahnya kemampuan berpikir, dan perubahan perilaku.

Aktivitas berganti-ganti antara dua bahasa menciptakan cadangan pada kapasitas kognitif manusia. Kapasitas ini berkaitan dengan daya ingat, konsentrasi, dan bahasa. Kemampuan-kemampuan ini memungkinkan kita merespons rangsangan. Orang dengan cadangan kognitif yang lebih besar akan lebih tahan saat penuaan menggerogoti fungsi otaknya.

Keragaman Bahasa di Indonesia

Di Indonesia, penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional menciptakan masyarakat yang multibahasa secara alami. Negara ini kaya akan keragaman bahasa, dengan lebih dari 300 suku dan lebih dari 700 bahasa daerah yang digunakan di seluruh Nusantara.

Individu yang tumbuh di Indonesia biasanya memiliki bahasa ibu berupa bahasa daerah seperti Batak, Minangkabau, atau Sunda. Mereka menggunakan bahasa ibu tersebut dalam lingkup keluarga atau tempat tinggal. Selain itu, mereka juga menggunakan bahasa kedua, seperti bahasa Indonesia, yang diperoleh melalui pembelajaran formal di sekolah dan digunakan dalam komunikasi antaretnis sehari-hari.

Banyak orang Indonesia juga belajar bahasa asing, seperti bahasa Inggris, yang menjadi bahasa ketiga. Bahasa lain seperti Prancis, Jerman, atau Arab bisa menjadi bahasa keempat, kelima, dan seterusnya.

Pentingnya Motivasi Internal dalam Belajar Bahasa

Otak adalah pusat kendali tubuh yang menjaga seluruh fungsi vital. Gaya hidup sehat memastikan tubuh tetap bugar, sementara belajar bahasa baru menjadi latihan penting untuk menjaga otak tetap aktif dan tajam.

Meski demikian, faktor sosial, ekonomi, dan kontekstual juga berpengaruh pada keberhasilan pembelajaran bahasa. Tim peneliti mengamati bahwa mereka yang belajar bahasa asing di negara-negara Eropa biasanya memiliki pendidikan yang lebih tinggi, akses luas, dan gaya hidup sehat.

Namun, hasil riset tersebut juga menunjukkan bahwa manfaat kesehatan dari belajar bahasa tidak berlaku pada imigran yang merasa terpaksa belajar dan perempuan dalam ketidaksetaraan gender. Kondisi belajar di bawah tekanan dan keterpaksaan justru dapat meniadakan manfaat kognitif.

Sebaliknya, hasil terbaik muncul bila bahasa kedua dipelajari sejak muda dan digunakan secara terus-menerus dalam lingkungan yang kondusif. Oleh karena itu, ruang belajar yang sehat dan mendukung perlu diciptakan di tengah masyarakat agar semua orang dapat menikmati proses belajar bahasa.

Belajar bahasa kedua karena dorongan pribadi (motivasi internal) akan lebih efektif, membahagiakan, dan memperkecil risiko penuaan dini daripada sekadar memenuhi tuntutan eksternal.

Pos terkait