Banjir Sumatra: Rahasia Alam Terbongkar

Bencana Banjir di Sumatra: Konferensi Pers Alam yang Tak Terdengar

Banjir yang menenggelamkan sebagian besar wilayah Sumatra bukan sekadar bencana alam. Ini adalah konferensi pers terbuka yang digelar langsung oleh alam untuk membongkar karpet merah kemunafikan pemerintah. Gelondongan kayu yang hanyut terbawa arus bukan sekadar benda, itu bukti otentik yang lebih jujur daripada seribu pidato pejabat.

Ketika batang-batang raksasa itu melintasi sungai layaknya pengungsi ekologis, mereka seakan berkata “Maaf, kami ditebang, lalu kami dipaksa menjadi bukti kejahatan.” Dan ditengah panggung bencana ini, pemerintah kembali tampil dengan gaya lamanya, lambat, ragu, penuh pembenaran, tapi tak pernah ada rasa tanggung jawab.

Saat banjir melanda, alurnya selalu sama, rakyat panik, lapangan ambruk, jaringan terputus, ribuan jiwa terseret arus. Keterlambatan penanganan banjir di Sumatra bukan hanya berdampak buruk, tetapi berbahaya. Dalam kerangka hukum, lambatnya respons merupakan bentuk kelalaian negara dalam menjalankan kewajiban konstitusionalnya.

Sebagaimana termaktub dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta perlindungan dari bencana. Negara bukan hanya gagal melindungi, tetapi bahkan gagal hadir pada situasi darurat ini.

Ironi terbesarnya adalah perbedaan perlakuan. Ketika genangan banjir di Pulau Jawa setinggi mata kaki saja, bisa membuat status darurat segera dinaikkan. Pemerintah heboh menggelar konferensi pers, dan pejabat datang berbondong-bondong ke lokasi banjir semata kaki tersebut. Tapi Sumatra? Sudah tenggelam dan hilang separuh dari 3 provinsi, akses terputus, ribuan orang mengungsi, namun status darurat masih diperdebatkan.

Ini menunjukkan cacat struktural dalam kebijakan kebencanaan, juga melangar asas equality before the law. Penetapan status darurat bukan preferensi politik, melainkan mandat hukum yang diatur dalam UU Nomor 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Ketika negara membeda-bedakan wilayah berdasarkan “kepentingan publisitas”, bukan urgensi, maka ini bukan pelanggaran hukum tetapi melanggar hak asasi manusia, setiap orang berhak untuk hidup.

Ironi dan sangat memalukan ketika negara tetangga yang juga sedang tertimpa siklon tropis senyar, tetapi mereka lebih dulu mengirim obat-obatan dan logistik daripada pemerintah pusat sendiri. Secara hukum, ini menunjukkan bahwa negara melalaikan asas responsibility dalam teori kewajiban negara. Ketika negara lain berfungsi lebih baik terhadap warga kita daripada pemerintah sendiri, maka harga diri negara dipertaruhkan.

Kejadian ini memperlihatkan bahwa harga diri pemerintah sedang tidak dipertaruhkan, tampaknya sudah tidak ada. Saat rakyat terisak tangis dan panik serta trauma mendalam, Kepala BNPB malah menyatakan bahwa bencana ini “dibesar-besarkan media.” Pernyataan seperti ini bukan sekadar blunder komunikasi, ini adalah pelanggaran etika jabatan publik.

Pejabat negara wajib memegang asas prudentia (kehati-hatian), empathy, dan public accountability. Ketika seorang pejabat menyalahkan media di tengah penderitaan masyarakat, maka dua hal dipertanyakan, kapasitas kepemimpinannya dan kualitas kemanusiaannya.

Pemerintah daerah justru jauh lebih cepat mengambil sikap dibanding pemerintah pusat. Namun skala bencana membuat mereka kewalahan hingga terpaksa mengangkat bendera putih karena kapasitas fiskal, logistik, dan tenaga mereka tidak lagi mampu menahan laju kerusakan. Sudah semestinya Gubernur melakukan langkah serupa agar penanganan bencana dialihkan sepenuhnya kepada pemerintah pusat yang selama ini begitu percaya diri menyebut dirinya “paling bijaksana” dalam urusan kebencanaan.

Dalam banyak yurisdiksi, pejabat seperti ini sudah diminta mundur karena “moral hazard”. Sedangkan negara kita? Masih sibuk memaklumi dan klarifikasi minta maaf!! Lucunya, penggundulan hutan itu di anggap proyek strategis nasional. Namun banjir tersebut terjadi atas tindakan lokalisasi kejahatan orang-orang di Daerah.

Banjir ini sekali lagi menunjukkan bahwa pemerintah masih terperangkap dalam sentralisme Jawa. Walau sebenarnya tidak juga demikian, tetapi spekulasi atas hampir benarnya tindakan pilih kasih tersebut menjadi fakta lapangan. Narasi yang dilontarkan ialah pembangunan “merata”, tetapi realitas kebijakan selalu “terfokus”.

Ketika sebuah wilayah diperlakukan sebagai pinggiran, maka hak konstitusional rakyatnya direndahkan. Padahal UUD NRI 1945 dengan jelas mengamanatkan perlindungan seluruh tumpah darah Indonesia yang artinya Sumatra bukan daftar ke-dua, ke-tiga, atau “opsional”.

Pada hukum lingkungan, ketika sebuah kerusakan terjadi, subjek yang bertanggung jawab wajib memenuhi strict liability pertanggungjawaban mutlak tanpa perlu pembuktian kesalahan. Logikanya sederhana, kalau hutan gundul, itu bukan ulah hujan, bukan ulah sungai, bukan ulah angin. Itu ulah manusia, khususnya korporasi dan pejabat yang memberi izin. Karena itu, meminta maaf secara terbuka bukan hanya tuntutan moral, tetapi kewajiban legal.

Termasuk kewajiban melakukan environmental restoration seperti reboisasi secara massif. Kalau kerusakannya selevel ratusan ribu hektar, maka tanam pohon pun harus dalam skala triliunan, bukan ratusan ribu sebagai proyek seremonial. Tidak hanya itu, kematian gajah dan harimau sumatera yang hari ini dilestarikan harus dipertanggungjawabkan oleh pemerintah.

Dan stakeholder yang telah merusak hutan sumatera, kembalikan rumah-rumah binatang tersebut, kelakuan kalian melebihi kelakuan binatang buas. Sangat sederhana, Tuhan menurunkan hujan dalam bentuk cair, bukan kayu gelondongan. Maka saat banjir membawa kayu, itu bukan “bencana alam”. Sederhanya juga kalau kerusakan alam itu bisa sembuh dengan alam memperbaiki dengan sendirinya, kalau kerusakan tersebut dibuat oleh manusia, manusia mana yang menyembuhkannya?

Hukum lingkungan modern selalu membedakan antara natural disaster dan human induced disaster. Banjir Sumatra jelas masuk kategori kedua. Dan ketika bencana diakibatkan aktivitas ilegal seperti illegal logging, maka negara wajib melakukan penegakan hukum berkelanjutan, bukan hanya penindakan simbolik.

Penegakan hukum tidak boleh berhenti pada “kuli lapangan” yang menebang pohon. Pelaku sesungguhnya adalah pemilik izin, pejabat yang menerima suap, pengusaha yang bermain di balik layar. Penegakan hukum lingkungan harus mengikuti konsep follow the permit, follow the money, dan follow the political network. Kalau mau serius, satu hal harus diakui, illegal logging tidak mungkin berjalan tanpa restu aparat dan pejabat.

Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues menjadi contoh nyata wilayah yang terputus total. Banyak bayi, lansia, dan pengungsi yang terjebak tanpa sandang, pangan, obat-obatan, dan air bersih. Dalam hukum kebencanaan, pengiriman logistik dalam kondisi terisolir “wajib segera”. Keterlambatan berarti pelanggaran terhadap asas rapid response dan accessibility of aid.

Ketika negara tidak mengirim logistik secara cepat dan massif, negara gagal menjalankan kewajiban perlindungan minimal terhadap warga negara (minimum core obligation). Status darurat bukan sekadar simbol politik, itu dasar hukum agar negara bisa mengerahkan semua sumber daya. Ketakutan menetapkan status darurat karena takut investor tersinggung atau takut janji politik batal menunjukkan negara lebih setia pada modal daripada rakyat.

Dan bahkan orang paling sederhana pun tahu, kalau daerah setengah hilang, akses terputus, dan korban terus bertambah, maka itu sudah layak masuk kategori darurat nasional. Menunda status hanya memperpanjang penderitaan.

Banjir Sumatra bukan musibah biasa, ini tamparan bagi manusia, namun alam melakukan konferensi pers dengan cara membuka aib Oknum pejabat dan stake holder. Gelondongan kayu tersebut adalah bukti persidangan yang tidak bisa dibantah oleh manusia manapun.

Sudah saatnya pemerintah berhenti melihat banjir sebagai siklus musiman. Tetapi ini siklus kesalahan. Siklus kelalaian. Siklus kejahatan ekologis yang dilindungi dengan dalih pembangunan. Negara tidak bisa memilah dan memilih siapa yang layak diselamatkan, sebab alam tidak bisa berbohong atas kejahatan manusia terhadapnya.




Pos terkait