Kebangkitan saham-saham Grup Bakrie kembali menjadi sorotan investor di akhir tahun 2025. Beberapa emiten yang berada di bawah naungan grup ini, seperti PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS), PT Bumi Resources Tbk (BUMI), dan PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG), menunjukkan pertumbuhan yang signifikan dalam setahun terakhir. Kenaikan harga saham mereka mencapai ratusan persen, menjadikannya salah satu kelompok saham dengan kinerja terbaik di Bursa Efek Indonesia.
Sentimen positif yang muncul dari kenaikan harga komoditas serta aksi korporasi agresif turut memperkuat reli saham-saham tersebut menjelang 2026. Salah satu faktor utama yang mendorong euforia ini adalah masuknya BRMS ke dalam Indeks MSCI Global Standard, indeks acuan penting bagi investor institusi global. Keikutsertaan BRMS dalam indeks internasional ini membuka peluang arus dana pasif ke saham perusahaan, sekaligus memperkuat momentum fundamental yang sedang menguat seiring lonjakan harga emas dunia.
Di sisi lain, dua emiten lainnya dari Grup Bakrie, yaitu BUMI dan ENRG, juga mempercepat ekspansi bisnis. BUMI menerbitkan obligasi jumbo untuk mengakuisisi tambang emas baru, sedangkan ENRG menyiapkan penerbitan obligasi dan anggaran besar untuk memperluas portofolio migas. Dengan pergerakan harga saham yang agresif, pertanyaan yang muncul adalah: mana yang lebih menarik untuk dikoleksi investor pada 2026?
Prospek Bumi Resources Minerals (BRMS)
Kinerja PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS) semakin mengkilap sepanjang tahun. Emiten tambang emas milik Grup Bakrie ini tengah menikmati berkah dari peningkatan produksi emas, terutama dari tambang di Palu serta lonjakan harga emas global sejak awal tahun. Sentimen positif ditambah dengan masuknya BRMS ke dalam indeks bergengsi Morgan Stanley Capital International (MSCI) kategori MSCI Global Standard.
Selain itu, BRMS dan entitas anak usahanya, PT Citra Palu Minerals (CPM), berhasil mendapatkan pinjaman sebesar US$ 625 juta atau sekitar Rp 10,44 triliun (dengan kurs Rp 16.709 per dolar AS). Direktur BRMS Herwin Wahyu Hidayat menjelaskan bahwa kekuatan perseroan bertumpu pada lima anak usaha yang mengelola berbagai jenis tambang di sejumlah pulau Indonesia, mulai dari emas, perak, tembaga hingga zink.
Sepanjang Januari–September 2025, BRMS mencatatkan laba bersih sebesar US$ 37,9 juta atau sekitar Rp 632,75 miliar (dengan kurs Rp 16.692 per dolar Amerika Serikat), melonjak 129% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 15,65 juta. Penjualan juga tumbuh 69% dari US$ 108,47 juta menjadi US$ 183,57 juta. Kenaikan kinerja keuangan tersebut didukung oleh dua faktor utama, yaitu peningkatan volume produksi emas dan kenaikan harga jual.
Produksi emas BRMS meningkat 25%, dari 45.366 ons pada sembilan bulan 2024 menjadi 56.552 ons di periode yang sama tahun ini. Sementara harga jual emas naik 34%, dari US$ 2.347 per ons menjadi US$ 3.156 per ons. Dalam periode tersebut, BRMS menjual total 1.759 kilogram emas, lebih tinggi dibandingkan 1.411 kilogram pada tahun sebelumnya. Dari penjualan itu, perseroan membukukan pendapatan US$ 178,5 juta dari emas dan US$ 5,07 juta dari perak.
Geliat Aksi Bumi Resources (BUMI)
Emiten terafiliasi Grup Salim dan Bakrie, PT Bumi Resources Tbk (BUMI) juga tengah proses untuk mengakuisisi tambang emas tahap produksi Jubilee Metals Limited (JML) di Australia. Selain itu, perusahaan kini juga menggenggam 45% saham PT Laman Mining, perusahaan tambang bauksit di Kalimantan Barat. Pada tahun ini, BUMI menjadi primadona di kalangan investor pasar modal setelah merampungkan akuisisi 100% saham Wolfram Limited (WFL), perusahaan tambang emas raksasa berbasis Australia.
Perusahaan juga telah menerbitkan obligasi dengan mencari dana hingga Rp 5 triliun untuk ekspansi besar-besaran ini. Bahkan, emiten yang bergerak di sektor pertambangan ini juga membeberkan rencana untuk melakukan aksi akuisisi baru di sektor mineral. Emiten yang terafiliasi dengan konglomerat dari Grup Salim dan Grup Bakrie ini akan membuka peluang ekspansi pada bidang potensial lainnya.
Direktur Bumi Resources, Christopher Fong, menyampaikan bahwa perusahaan kini tengah memprioritaskan ekspansi di sektor logam, mineral, dan industri hilir. Ia menyebut akuisisi baru itu dalam rentang 6–12 bulan ke depan. Ia mengaku langkah ini merupakan bagian dari strategi diversifikasi untuk mengurangi ketergantungan pada bisnis batu bara termal.
Ekspansi Energi Mega Persada (ENRG)
PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) berencana menerbitkan Penawaran Umum Berkelanjutan (PUB) Obligasi Berkelanjutan I Tahap I Tahun 2025 dengan total target mencapai Rp 4 triliun. Pada tahap pertama, perseroan akan menawarkan obligasi dengan jumlah pokok maksimal Rp 500 miliar. Investor Relations ENRG Herwin W. Hidayat menjelaskan, dana yang dihimpun akan digunakan untuk pembayaran utang dan kebutuhan modal kerja perseroan.
Melalui skema PUB I, ENRG memiliki ruang untuk mengumpulkan total dana hingga Rp 4 triliun. Perusahaan juga menyampaikan niatnya mengakuisisi sejumlah blok minyak dan gas (migas) baru di dalam maupun luar negeri. Anggaran sebesar Rp 3,3 triliun merupakan bagian dari total anggaran US$ 1,4 miliar atau sekitar Rp 23 triliun yang telah perseroan rencanakan untuk sepanjang tahun 2025-2035.
Dana akan dialokasikan untuk menunjang kegiatan bisnis ENRG seperti pengeboran 30 sumur eksplorasi, sekitar 130 sumur pengembangan, serta maintenance capex untuk 106 sumur guna menjaga tingkat produksi hingga 2030. Rencana jangka panjang tersebut sejalan dengan roadmap 2026, yang menekankan pengembangan aset migas eksisting melalui kombinasi eksplorasi dan pengembangan.
Prospek Emiten Grup Bakrie
BRI Danareksa Sekuritas, Abida Massi Armand menilai prospek emiten-emiten Grup Bakrie saat ini beragam, dengan PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS) muncul sebagai yang paling menonjol berkat dorongan kuat dari kenaikan harga emas global. Emiten tambang emas itu juga mencatat lonjakan laba bersih 142% secara tahunan hingga Kuartal III 2025, dengan perolehan laba Rp 632,3 miliar, melonjak jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Sebaliknya, PT Bumi Resources Tbk (BUMI) menghadapi tekanan signifikan akibat pelemahan harga batu bara, yang menyebabkan laba bersihnya merosot tajam sebesar 76% pada sepanjang sembilan bulan 2025. Sementara itu, Abid juga menyebut Energi Mega Persada di sektor minyak dan gas (migas) menunjukkan stabilitas kinerja, hingga laba bersih ENRG naik sebesar 8,5% dan penjualan tumbuh 13% year-on-year (tahunan) sepanjang periode Januari–September 2025, didukung oleh harga minyak mentah yang relatif stabil.
Meskipun PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS) unggul dalam pertumbuhan, saham perusahaan tersebut diperdagangkan pada valuasi yang sangat premium dengan Price-to-Earnings Ratio (PER) Kuartal III 2025 mencapai 191 kali. Di sisi lain, PT Energi Mega Persada Tbk berada pada posisi valuasi paling wajar di dalam Grup Bakrie, dengan PER 24,4 kali dan Price-to-Book Value (PBV) sebesar 2,35 kali, sehingga memberikan ketahanan fundamental yang relatif solid.
Kinerja Saham Emiten Grup Bakrie
Berikut kinerja saham emiten Grup Bakrie:
| No. | Perusahaan | Kenaikan Saham Sebulan Terakhir | Kenaikan Saham Ytd | Kapitalisasi Pasar |
|---|---|---|---|---|
| 1. | PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS) | 9,14% | 193,35% | Rp 143,91 triliun |
| 2. | PT Bumi Resources Tbk (BUMI) | 72,86% | 105,08% | Rp 89,86 triliun |
| 3. | PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) | 40% | 417,39% | Rp 31,35 triliun |
| 4. | PT Darma Henwa Tbk (DEWA) | 40,12% | 321,62% | Rp 19,04 triliun |
| 5. | PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk (UNSP) | 20,93% | 114,43% | Rp 520,03 miliar |
| 6. | PT Visi Media Asia Tbk (VIVA) | 6,90% | 416,67% | Rp 510,39 miliar |
| 7. | PT VKTR Teknologi Mobilitas Tbk (VKTR) | 83,62% | 400% | Rp 28,44 triliun |
Euforia Grup Bakrie Hingga 2026, Mana Menarik?
Lebih lanjut, Abid menilai euforia kenaikan harga saham Grup Bakrie saat ini merupakan kombinasi antara momentum fundamental di sektor emas dan sentimen masuknya salah satu emiten ke dalam Indeks Morgan Stanley Capital International (MSCI). Menurutnya, keberlanjutan euforia tersebut hingga 2026 akan sangat ditentukan oleh realisasi arus dana pasif (passive inflow) investor asing dari MSCI yang diharapkan mampu meningkatkan likuiditas.
Namun, perlu dicatat bahwa arus dana pasif ini adalah peristiwa one-off yang terjadi saat rebalancing indeks, sehingga tekanan beli otomatis akan mereda setelah implementasi indeks selesai. Dari sisi fundamental, prospek keberlanjutan euforia terbesar berasal dari BRMS mengingat sejumlah analis memproyeksikan harga emas berpotensi melanjutkan tren kenaikan (bullish) ekstrem, bahkan diperkirakan bisa menembus level US$ 5.000 per ounce pada 2026.
Selain itu, prediksi harga emas yang optimistis ini juga memberikan dukungan struktural bagi kinerja perusahaan. Sebaliknya, BUMI masih menghadapi tantangan berat akibat tekanan yang berlanjut di sektor batu bara. Namun tantangannya akan berkurang karena BUMI telah melakukan diversifikasi emas melalui tambang yang baru diakuisisi di Wolfram Australia.
Senior Equity Research Kiwoom Sekuritas, Sukarno Alatas, menilai bahwa secara keseluruhan fundamental emiten-emiten Grup Bakrie masih bergerak bervariasi. Secara pendapatan mayoritas mencatat pertumbuhan, namun kinerja laba bersih menunjukkan hasil bervariasi. Meski demikian, sejumlah katalis dinilai mampu memperbaiki prospek ke depan.
Ia menilai Bumi Resources Minerals tetap menjadi motor pertumbuhan melalui kenaikan produksi emas. Lalu Energi Mega Persada berpeluang mencatat perbaikan kinerja apabila realisasi kenaikan lifting minyak dan gas tercapai. Sementara itu, Bumi Resources memperoleh tambahan sentimen positif dari langkah diversifikasi ke segmen emas, yang berpotensi menjadi sumber kontribusi baru seiring lonjakan harga emas global dan rencana akuisisi aset tambang emas.
Diversifikasi ini mengurangi ketergantungan penuh pada batubara dan membuka jalur pertumbuhan non-coal di tengah siklus komoditas yang mulai moderat. Meski demikian, sebagian besar emiten dalam Grup Bakrie tetap menghadapi tantangan struktural, seperti tingkat utang yang tinggi, volatilitas arus kas (cashflow), dan sensitivitas terhadap fluktuasi harga komoditas. Fundamental jangka menengah juga bergantung pada kemampuan perusahaan untuk mengeksekusi ekspansi bisnis sekaligus menjaga struktur neraca agar tetap sehat.
Euforia kenaikan saham berpotensi bertahan apabila kombinasi katalis tetap mendukung, yaitu peningkatan produksi emas BRMS, kenaikan lifting minyak dan gas ENRG, harga batu bara BUMI yang stabil, serta momentum diversifikasi ke emas BUMI. Namun sifatnya tetap sentiment-driven, sehingga tanpa deliverable operasional atau perbaikan neraca, reli Bakrie biasanya cepat kehilangan tenaga.
