Survei terbaru menunjukkan bahwa 70% generasi Z di Indonesia mengalami burnout kerja, dengan tuntutan multitasking menjadi penyebab utama. Data ini mencerminkan kondisi yang semakin memprihatinkan di kalangan pekerja muda, yang seringkali kesulitan mengatur beban kerja dan tekanan lingkungan profesional.
Menurut survei yang dilakukan oleh Lembaga Riset Ketenagakerjaan (LRK), kelelahan mental di kalangan Gen Z meningkat pesat dalam dua tahun terakhir. “Banyak dari mereka menghadapi tekanan untuk menyelesaikan banyak tugas sekaligus, baik di kantor maupun secara remote,” kata Dr. Arief Wibowo, peneliti LRK. “Ini berdampak pada kesehatan mental dan produktivitas.”
Salah satu faktor utama yang menyebabkan burnout adalah pola kerja yang tidak seimbang. Banyak perusahaan menuntut karyawan untuk melakukan banyak hal dalam waktu singkat, tanpa memberikan dukungan yang cukup. “Saya harus menghandle beberapa proyek sekaligus, bahkan saat sedang lelah,” keluh Dian, seorang karyawan di Jakarta. “Tidak ada batasan waktu kerja yang jelas.”
Dari sisi psikologis, Gen Z juga lebih rentan mengalami stres karena lingkungan sosial yang kompetitif. Mereka tumbuh di era digital yang menuntut kecepatan dan responsif. “Tekanan untuk selalu tampil sempurna membuat banyak dari kami merasa tidak aman,” tambah Dian.
Pakar psikologi, Dr. Siti Nurhaliza, menjelaskan bahwa burnout bukan hanya sekadar kelelahan fisik, tetapi juga kelelahan emosional dan mental. “Gen Z cenderung memiliki ekspektasi tinggi terhadap diri sendiri dan lingkungan sekitar. Ketika target tidak tercapai, mereka mudah merasa gagal,” ujarnya.
Di sisi lain, pemerintah dan organisasi swasta mulai mengambil langkah untuk mengatasi masalah ini. Beberapa perusahaan besar telah menerapkan kebijakan kerja fleksibel dan program pengembangan kesehatan mental. Namun, menurut Dr. Arief, masih banyak perusahaan yang belum memahami pentingnya kesejahteraan karyawan.
“Kita perlu melibatkan semua pihak, termasuk pemerintah, perusahaan, dan masyarakat, untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat,” katanya. “Jika tidak, dampaknya akan terasa jangka panjang, baik bagi individu maupun ekonomi nasional.”
Dari data LRK, diperkirakan bahwa 65% Gen Z mengalami gejala burnout setiap bulan. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya, yang hanya sekitar 30%. “Ini menunjukkan bahwa masalah ini tidak bisa diabaikan,” tambah Dr. Siti.
