Hati-Hati Makan di Kaki Lima Kota Tua, Nasi Goreng Rp100 Ribu Jadi Viral Lagi!

Di tengah tren makanan kaki lima yang sering dikaitkan dengan harga terjangkau, sebuah fenomena baru kembali mencuri perhatian publik. Sebuah nasi goreng yang dibanderol seharga Rp100 ribu viral di media sosial, memicu diskusi luas tentang kualitas, harga, dan kepercayaan konsumen terhadap makanan di kaki lima. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: Apakah kaki lima kini benar-benar bisa menyajikan makanan premium? Dan bagaimana respons masyarakat terhadap hal ini?

Kronologi Lengkap

Bacaan Lainnya

Peristiwa berawal dari unggahan video oleh seorang netizen yang mengunggah pengalamannya membeli nasi goreng di sebuah gerobak di kawasan kota tua Jakarta. Dalam video tersebut, penjual memperlihatkan porsi nasi goreng yang disajikan dalam wadah sederhana, tetapi dengan harga yang sangat tinggi, yaitu Rp100 ribu per porsi. Video itu langsung menyebar cepat, mendapat ratusan ribu tayangan, dan memicu reaksi beragam dari netizen.

Banyak yang merasa terkejut karena biasanya nasi goreng di kaki lima tidak melebihi harga Rp20 ribu. Namun, beberapa orang lain justru tertarik untuk mencoba, terutama setelah melihat penjual mengklaim bahwa bahan-bahannya segar dan proses masaknya dilakukan secara tradisional. Pemilik gerobak juga mengatakan bahwa harganya sesuai dengan kualitas dan keunikan rasa yang ditawarkan.

Mengapa Menjadi Viral?

Kejadian ini menjadi viral karena beberapa faktor. Pertama, adanya kontras antara harapan publik terhadap makanan kaki lima (murah dan praktis) dengan harga yang diberikan. Kedua, video yang diunggah memiliki visual yang menarik dan mudah dipahami, sehingga cocok untuk platform seperti TikTok dan Instagram. Ketiga, komentar-komentar netizen yang beragam—dari kagum hingga protes—memicu diskusi yang lebih luas.

Selain itu, hashtag #NasiGorengRp100Ribu mulai muncul di media sosial, memperkuat dampak viral. Banyak netizen membagikan pengalaman mereka sendiri atau mencoba memprediksi alasan penjual menetapkan harga tersebut, baik karena bahan impor, lokasi strategis, atau hanya sekadar promosi.

Respons & Dampak

Respons masyarakat terhadap kasus ini sangat beragam. Sebagian besar netizen merasa kaget dan tidak percaya, sementara sebagian lainnya memberikan dukungan. Beberapa tokoh kuliner lokal bahkan memberikan komentar bahwa harga tersebut bisa saja masuk akal jika bahan-bahannya memang premium dan teknik masaknya istimewa.

Dari sisi ekonomi, fenomena ini bisa menjadi peluang bagi penjual kaki lima untuk menawarkan produk premium. Namun, ada juga kekhawatiran bahwa harga yang terlalu tinggi bisa membuat masyarakat awam enggan mencoba, terutama jika rasa tidak sebanding dengan harga.

Secara psikologis, situasi ini juga memicu diskusi tentang nilai dan harga dalam masyarakat. Banyak orang mulai mempertanyakan apakah “kaki lima” masih layak disebut sebagai tempat makan yang murah atau apakah batasan itu sudah mulai kabur.

Fakta Tambahan / Klarifikasi

Setelah viral, beberapa media lokal mulai melakukan investigasi. Hasilnya, ternyata penjual nasi goreng tersebut memang memiliki reputasi lama di kawasan kota tua. Ia dikenal sebagai salah satu penjual yang menjaga kualitas bahan dan proses masak. Namun, jumlah pembeli tetap terbatas karena harga yang mahal.

Beberapa pengunjung yang telah mencoba mengatakan bahwa rasanya memang enak, tetapi tidak sepadan dengan harga yang diberikan. Sementara itu, penjual mengklaim bahwa ia tidak memperdagangkan harga secara sembarangan, tetapi memang ingin menawarkan sesuatu yang berbeda dari biasanya.

Penutup

Nasi goreng Rp100 ribu yang viral membuka dialog penting tentang perubahan paradigma makanan kaki lima. Publik kini mulai melihat bahwa tidak semua penjual kaki lima harus murah, tetapi juga bisa menawarkan kualitas tinggi. Bagi yang ingin mencoba, apakah Anda siap membayar harga premium untuk rasa yang istimewa?









Pos terkait