Banjir bandang Sumatra: Kekerasan tak terlihat yang menjadi bom waktu mematikan

● Banjir bandang Sumatra sebabkan korban massal dan kerusakan ekologis besar.

● Rekaman warga dan data hutan tunjukkan jejak kehancuran buatan manusia.

● Bencana ini cerminan kekerasan perlahan akibat pembiaran negara bertahun-tahun.

Banjir bandang yang menerjang Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat telah mengakibatkan 3,3 juta warga terdampak. Lebih dari 700 warga meninggal dunia.

Puluhan ribu bangunan seperti sekolah, jembatan, dan rumah-rumah penduduk luluh lantak. Banjir bandang pun merusak keanekaragaman hayati setempat, termasuk flora dan fauna, mati dan hancur.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sempat merilis penyebab banjir bandang. Biang keladi utama adalah curah hujan yang sangat tinggi akibat Siklon Senyar dan kondisi daerah tangkapan air yang tak mampu menampung air hujan secara optimal.

Akan tetapi, muncul narasi banjir bandang terjadi karena penggundulan hutan di bagian hulu daerah tangkapan air. Banyaknya video amatir warga beredar di media sosial menjadi bukti argumentasi itu.

Video-video tersebut memantik keriuhan soal gundulnya hutan-hutan penyebab banjir bandang Sumatra. Argumen ini turut diperkuat dengan data bahwa Sumatra termasuk salah satu pulau dengan angka kehilangan hutan terbesar di Tanah Air.

Kementerian Kehutanan boleh saja membantah anggapan itu dengan menyebut kayu-kayu yang terbawa air bah merupakan kayu lapuk dan sudah lama.

Namun tetap saja, bencana ini melanda akibat tumpukan kerusakan lingkungan bertahun-tahun dan nyaris dibiarkan oleh negara. Hingga akhirnya, kerusakan ini menjadi bom waktu menimbulkan bencana dahsyat.

Kerusakan inilah yang disebut dengan kekerasan perlahan atau slow violence.

Kekerasan tersembunyi yang mematikan

Konsep slow violence pertama kali diperkenalkan oleh akademisi dari Princeton University, Rob Nixon untuk menggambarkan bagaimana upaya pembiaran kerusakan lingkungan oleh negara sebenarnya tergolong kekerasan.

Kekerasan ini bekerja secara perlahan, tidak kasat mata, tetapi terus menumpuk hingga akhirnya meledak menjadi bencana berskala masif yang mematikan. Ini berbeda dengan kekerasan langsung, misalnya melalui penganiayaan ataupun intimidasi.

Konsep ini membantu kita menggeser cara pandang terhadap bencana banjir bandang di Sumatra. Banjir bandang akan terlihat sebagai peristiwa yang tidak terjadi secara alamiah.

Video rekaman air bah yang menghanyutkan kayu-kayu merupakan bukti awal bagi kita untuk menyadari adanya kekerasan perlahan di balik bencana ekologis ini. Paling tidak, ada dua hal yang mendasari kalau banjir bandang ini adalah buatan manusia.

Pertama, banjir bandang kali ini punya daya hancur yang sangat besar melebihi bencana hidrometeorologi (terkait cuaca dan siklus air) sebelumnya. Di Aceh, daya rusak banjir bahkan dianggap sebagai “Tsunami kedua” dari kejadian Tsunami 2004 yang menewaskan ratusan ribu orang.

Artinya, sekitar lebih dari lima dekade ke belakang, wilayah Aceh dan Sumatera Utara tidak punya riwayat banjir bandang berdaya rusak signifikan seperti saat ini.

Hal itu bisa saja terjadi karena kondisi tutupan hutan saat itu masih baik. Hutan yang terjaga berpotensi menahan limpasan air hujan ekstrem, menjaga biodiversitas, sekaligus memberikan manfaat bagi masyarakat lokal dengan hutan.

Kedua, Indonesia pasca-Reformasi 1998 membutuhkan banyak amunisi untuk mengejar ketertinggalan. Investasi pihak luar di sektor ekstraksi sumber daya alam menjadi andalan pemerintah. Berbagai aturan pun diubah untuk memudahkan investor bidang sumber daya alam beroperasi di Indonesia.

Secara spesifik, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat setidaknya ada tujuh perusahaan yang punya izin beroperasi di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru di Tapanuli Selatan. Hulu DAS ini merupakan wilayah hulu banjir bandang bermula di Sumatra Utara.

Secara akumulatif, mereka mengubah jutaan hektare wilayah hutan menjadi perkebunan kayu rakyat, perkebunan sawit, tambang emas, hingga pembangkit listrik tenaga air dan panas bumi.

Keuntungan yang diperoleh dari aktivitas itu tak secara langsung dirasakan masyarakat lokal. Sebaliknya, aktivitas perusahaan-perusahaan itu dinilai jadi penyebab rusaknya fungsi hutan menampung air hujan.

Alhasil, air hujan tersebut langsung mengalir dan terakumulasi menyebabkan banjir bandang sampai ke wilayah permukiman di wilayah hilir. Akibatnya, 1,5 juta orang di Sumatra terkena dampaknya.

Di sisi lain, pemerintah pun dinilai tidak transparan dalam menginformasikan proses sebuah perusahaan mengantongi izin perkebunan hingga pertambangan. Alih-alih terbuka, dukungan ke perusahaan mengalir melalui pernyataan pemerintah yang cenderung membela perusahaan.

Pembiaran yang menguatkan kekerasan

Slow violence tak hanya terikat pada tempat dengan konteks waktu masa lalu, tapi juga saat ini dan yang akan datang. Proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Batang Toru jadi contoh betapa kebijakan di masa lalu berkontribusi terhadap kekerasan perlahan banjir bandang.

Jauh sebelum banjir terjadi, para peneliti telah mengingatkan, selain berisiko melemahkan fungsi alami hutan mengelola air, pembangunan PLTA juga berisiko membelah jantung habitat orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) yang terancam punah.

Sayangnya, peringatan ini menjadi angin lalu. Proyek tetap berlanjut—dibalut narasi bahwa pembangunannya sudah memenuhi segala perizinan.

Setelah banjir terjadi, pemerintah menyatakan akan mengevaluasi izin-izin perusahaan yang diduga berkontribusi terhadap banjir.

Sikap ini tentu baik karena tampak responsif. Namun, kata “evaluasi” punya makna ganda. Di satu sisi, pemerintah akan menindak perusahaan yang melanggar izin dengan sanksi keras.

Di sisi lain, sikap itu bisa jadi hanya cara untuk meredam amarah publik. Ketika situasi sudah membaik, tapi ujung-ujungnya pembiaran muncul lagi: Siapa yang tahu?

Artikel ini pertama kali terbit di The Conversation, situs berita nirlaba yang menyebarluaskan pengetahuan akademisi dan peneliti.

Budiyanto Dwi Prasetyo tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.

Pos terkait