Belajar Melalui Menulis
Ada satu jargon kecil yang saya tulis di profil pribadi: belajar dari menulis. Banyak orang mungkin menganggap itu hanya slogan pengisi kolom profil. Namun bagi saya, kalimat itu lahir dari perjalanan panjang. Saya menulis bukan hanya karena ingin berbagi pikiran. Saya menulis karena dari situlah saya belajar. Ada hubungan yang aneh tapi nyata antara pena, pikiran, dan proses memahami diri sendiri. Karena itu setiap kali membuka laptop untuk menulis artikel, saya merasa seperti sedang masuk kelas, kelas yang gurunya adalah tulisan itu sendiri.
Saya dulu sering mengira bahwa orang menulis karena sudah paham duluan. Saya berpikir pengetahuan harus matang dulu, baru dituangkan menjadi tulisan. Tapi pengalaman membalikkan pandangan itu. Justru ketika saya menulis, saya sadar bahwa banyak hal dalam kepala saya ternyata belum tertata. Saya mungkin merasa sudah paham saat membaca atau mendengar sesuatu. Tapi saat mencoba menjelaskannya dalam bentuk tulisan, saya mulai bingung sendiri. Pikiran saya seperti bertabrakan di sudut-sudut yang sempit. Dari situ saya sadar, menulis bukan hasil dari belajar. Menulis adalah bagian dari belajar.
Proses Menulis yang Membentuk Pemahaman
Saat menuliskan sesuatu, saya terpaksa menata pikiran lebih rapi. Saya harus memilih mana ide utama, mana yang hanya pelengkap, dan mana yang masih belum jelas. Kadang saya berhenti lama hanya karena satu kalimat tidak mau mengalir. Ternyata yang macet bukan jarinya, tetapi pemahamannya. Menulis membuat saya sadar bagian mana yang saya pahami dan bagian mana yang masih kabur. Kalau saya sulit menjelaskan sesuatu di tulisan, itu pertanda saya belum menguasai materi. Begitu sederhana, tapi begitu jujur. Tulisan tidak mau berbohong. Kalau kita tidak paham, tulisan akan menunjukkan kelemahannya.
Menulis juga membuat saya berkaca pada diri sendiri. Ada hal-hal yang hanya muncul ke permukaan ketika saya menuliskannya. Mungkin selama ini saya menyimpan pengalaman atau pengetahuan tanpa pernah benar-benar memikirkannya dengan serius. Ketika saya menulis, semuanya seperti dipaksa keluar dari tempatnya. Saya mulai bertanya pada diri sendiri. Apa makna pengalaman itu? Mengapa saya memikirkan hal itu? Bagian mana yang paling penting? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang kemudian menuntun saya memahami sesuatu lebih dalam. Pelajaran yang awalnya hanya lewat begitu saja akhirnya masuk ke dalam diri. Saya tidak hanya mengingat, tapi mencerna.
Menulis sebagai Cermin Pikiran
Saya jadi teringat sebuah kalimat yang sering muncul di dunia penulisan: “How do I know what I think until I see what I say?” Saya dulu menganggapnya berlebihan. Namun sekarang saya tahu kalimat itu sangat benar. Ada pikiran yang terasa jelas di kepala, tetapi begitu dituangkan ke tulisan, ternyata sebenarnya tidak jelas. Terkadang kita baru tahu apa yang sebenarnya kita pikirkan setelah membacanya kembali. Tulisan menjadi cermin sederhana yang memperjelas isi pikiran yang sebelumnya kabur. Dari tulisan itulah kita akhirnya tahu apa yang sebenarnya kita yakini, apa yang kita ragukan, dan apa yang kita perlu pelajari lagi.
Menulis sebagai Arsip Belajar yang Terus Hidup
Hal menarik lainnya, menulis bukan hanya proses sesaat. Ia adalah arsip belajar yang terus hidup. Kadang-kadang saya membuka tulisan lama saya. Saya membaca kembali cara saya menjelaskan sesuatu dua atau tiga tahun lalu. Ada tulisan yang membuat saya tertawa kecil karena terasa kekanak-kanakan. Ada juga yang membuat saya tersenyum karena terasa jujur. Ada bagian yang membuat saya sadar bahwa saya pernah belajar mati-matian tentang sesuatu yang sekarang terasa mudah. Melihat tulisan lama seperti melihat jejak kaki dari perjalanan belajar. Kita bisa mengukur bagaimana kita berkembang, berubah, bahkan tersadarkan.
Menulis sebagai Proses Belajar yang Lengkap
Maka, bagi saya, menulis bukan hanya soal komunikasi. Menulis bukan hanya soal berbagi opini atau menyampaikan informasi ke orang lain. Menulis adalah proses belajar yang lengkap. Saat membaca materi, kita belajar sekali. Saat menuliskannya, kita belajar untuk kedua kalinya. Itulah alasan mengapa saya merasa tulisan adalah ruang belajar paling efektif yang bisa kita lakukan sendiri. Tidak ada guru, tidak ada nilai ujian, tetapi ada kejujuran intelektual. Kita tidak bisa berbohong pada tulisan kita sendiri. Tulisan memaksa kita untuk bertemu dengan pemahaman kita secara telanjang.
Menulis sebagai Alat untuk Berpikir Lebih Matang
Saya sering membayangkan kalau banyak orang memperlakukan menulis bukan sekadar sebagai aktivitas berkabar, tetapi juga sebagai aktivitas belajar. Mungkin kita akan lebih tenang berdiskusi. Mungkin kita akan lebih matang dalam berpendapat. Karena orang yang menulis sambil belajar tahu bahwa pendapat bukan sesuatu yang statis. Ia bisa berubah seiring pemahaman bertambah. Tidak ada yang salah dengan merevisi pandangan sendiri jika tulisan sebelumnya terasa keliru. Itulah bagian dari perkembangan berpikir. Menulis membantu kita menerima kenyataan bahwa belajar adalah perjalanan panjang, bukan loncatan singkat.
Proses Belajar yang Tak Pernah Berakhir
Sampai sekarang pun saya masih sering merasa belum mahir menulis. Masih banyak tulisan yang selesai setelah beberapa jam tarik-menarik antara ide dan kalimat. Ada hari-hari ketika saya merasa ide saya berantakan. Ada pula hari ketika tulisan mengalir begitu saja tanpa hambatan. Namun dari hari baik dan hari buruk itulah proses belajar terjadi. Saya tidak pernah benar-benar selesai belajar. Namun saya tahu satu hal: selama masih menulis, saya masih belajar.
Jargon belajar dari menulis bukan sekadar hiasan kata di profil. Itu pengingat untuk diri saya sendiri. Bahwa sebelum saya mengajar orang lain lewat tulisan, saya harus belajar dari tulisan itu dulu. Bahwa tulisan bukan hanya untuk dibaca orang, tetapi untuk mendewasakan diri sendiri. Dan setiap kali saya menulis, saya merasa sedang kembali ke kelas. Kelas tanpa dinding, tanpa bangku, tanpa papan tulis. Kelas yang hanya butuh satu hal: kemauan untuk terus belajar.
