Mendagri: Pemulihan Listrik Aceh Butuh 7 Hari

AA1RqkZZ

Pemulihan Listrik di Aceh Membutuhkan Waktu Hingga Tujuh Hari

Pemerintah masih berupaya keras untuk memulihkan pasokan listrik di Provinsi Aceh setelah terjadi bencana banjir bandang dan tanah longsor. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengungkapkan bahwa diperlukan waktu sekitar tujuh hari untuk dapat menormalisasi penerangan di wilayah tersebut.

Menurutnya, kerusakan pada jaringan listrik disebabkan oleh banjir yang melanda beberapa kabupaten dan kota di Aceh. Banjir ini juga menyebabkan putusnya jalur distribusi dari pembangkit arus ke Banda Aceh. “Kerusakan ada di jalur distribusi dari pembangkit arus ke Banda Aceh akibat banjir,” ujar Tito dalam siaran pers.

Untuk memperbaiki kerusakan tersebut, pemerintah mengirimkan peralatan khusus yang beratnya mencapai 30 ton dari Jakarta. Namun, tantangan utama adalah bagaimana cara membawa alat-alat tersebut ke lokasi-lokasi yang terdampak bencana.

Tantangan Pengiriman Alat Perbaikan Listrik

Hingga saat ini, banyak wilayah di Aceh masih terisolasi karena jalur darat terputus akibat banjir dan tanah longsor. Karena itu, pemerintah sedang mencari solusi alternatif agar peralatan dapat sampai ke lokasi. Salah satu opsi yang dipertimbangkan adalah pengiriman melalui jalur udara menggunakan helikopter.

Namun, kapasitas helikopter terbatas. Menurut Tito, daya angkut maksimal helikopter hanya sekitar 6 ton. Dengan total peralatan seberat 30 ton, diperlukan beberapa kali penerbangan untuk mengangkut seluruh peralatan tersebut. “Helikopter itu bisa angkat satu hari cuma 6 ton. Berarti 30 ton dibagi 6. Maka paling tidak membutuhkan 5 hari,” ujar Tito.

Setelah semua peralatan tiba, proses pemasangan dan perbaikan teknis diperkirakan memakan waktu lebih dari dua hari. Estimasi pemulihan jaringan listrik sekitar tujuh hari sejak proses dimulai. Jika semua berjalan lancar, diperkirakan listrik akan kembali normal di Aceh pada Sabtu depan.

Korban Jiwa Terus Bertambah

Penanganan bencana banjir bandang dan tanah longsor di tiga provinsi di Sumatera, termasuk Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar), terus dilakukan. Hingga Selasa (2/12/2025), jumlah korban jiwa yang meninggal dunia mencapai 604 orang.

Di Aceh, jumlah warga yang meninggal dunia akibat bencana bertambah menjadi 156 orang. Sementara itu, 181 warga masih dinyatakan hilang. Data ini mencakup 11 kabupaten dan kota, yaitu Bener Meriah, Aceh Tengah, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Tenggara, Aceh Utara, Aceh Timur, Lhokseumawe, Gayo Lues, Subulussalam, dan Nagan Raya.

Jumlah pengungsian di Aceh juga terus meningkat. Berdasarkan laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga Selasa (2/12/2025), jumlah pengungsi mencapai hampir setengah juta, atau sekitar 479.300 jiwa. Pengungsian tersebar di sejumlah kabupaten dan kota, dengan konsentrasi terbanyak berada di Kabupaten Aceh Utara sekitar 107.305 jiwa.

Akses Jalan Masih Terputus

Selain masalah listrik, akses jalan utama di Aceh masih terputus total. Termasuk jalan nasional yang menjadi akses darat utama di perbatasan Sumut-Aceh Tamiang, Gayo Lues-Aceh Tamiang, Bireuen-Takengon, serta Bener Meriah-Bireuen. Jalur Banda Aceh-Lhokseumawe juga masih terputus. Meskipun demikian, ada jalur alternatif penghubung Banda Aceh-Lhokseumawe melalui Jembatan Gantung Awe Geutah dengan akses yang sangat terbatas.

Di Sumut, penanganan banjir bandang dan tanah longsor juga terus berlangsung. Jumlah korban jiwa meninggal dunia yang berhasil terdata sebanyak 283 orang. Korban meninggal dunia tersebut berasal dari daerah seperti Tapanuli Tengah (Tapteng), Tapanuli Selatan (Tapsel), Kota Sibolga, Tapanuli Utara (Taput), Humbang Hasundutan, Pakpak Bharat, Kota Padang Sidempuan, Deli Serdang, dan Nias.

Sementara itu, di Sumbar, jumlah korban jiwa meninggal dunia mencapai 165 orang, dengan sekitar 114 warga masih dinyatakan hilang. Total pengungsi di Sumbar mencapai 18.624 KK atau 122.683 jiwa, dengan jumlah tertinggi di Kabupaten Pesisir Selatan dan Kabupaten Tanah Datar.

Pos terkait