Mengapa Indonesia Terdampak Siklon Terburuk di Asia Tenggara

AA1RMnFL

Dampak Bencana di Pulau Sumatera

Cuaca ekstrem dan terbentuknya siklon yang jarang terjadi akibat pemanasan suhu laut dan perubahan iklim global menjadi penyebab serangkaian bencana di pulau Sumatera dan kawasan lainnya di Asia Tenggara. Namun, data dari kelompok dan pengamat lingkungan hidup di Indonesia menunjukkan bahwa penebangan hutan yang dilakukan selama bertahun-tahun di Sumatera memperburuk dampak dari cuaca ekstrem.

Badai yang luar biasa dahsyat dan banjir monsun yang terjadi pekan lalu sudah menewaskan lebih dari 1.300 orang di seluruh Indonesia, Sri Lanka, dan Thailand. Indonesia menjadi negara yang paling terdampak dengan jumlah kematian tertinggi yang sudah melebihi 800 orang dan setidaknya 500 orang lainnya dilaporkan hilang. Lebih dari 1,2 juta warga harus mengungsi akibat bencana ini, menurut data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Penebangan Hutan Memperparah Bencana

Data dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menunjukkan, ratusan ribu hektare lahan di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh sudah mengalami deforestasi akibat izin ekstraktif yang diberikan kepada 631 perusahaan dalam 20 tahun terakhir. Direktur WALHI Nasional, Uli Arta Siagian, mengatakan bahwa sebagian besar kayu yang ditebang digunakan untuk memproduksi pulp dan kertas untuk diekspor ke negara-negara Eropa. Sementara minyak sawit yang diproduksi di Sumatera diekspor ke India, Malaysia, dan China.

Menurut Uli, semakin rentannya ekologi Indonesia menjadi penyebab dampak bencana di Indonesia sangat parah dibanding kawasan lainnya. “Buffer zone atau green zone yang ada di wilayah pesisir itu sudah hilang… Infrastruktur ekologis di wilayah pesisir kita itu sudah hancur,” katanya. “Maka kemudian dia (siklon) lari ke daratan… Juga infrastruktur ekologisnya juga sudah rusak.”

Peran Hutan dalam Mitigasi Bencana

Indonesia memiliki “hutan terbesar ketiga di dunia” dan Sumatera, pulau terbesar di Indonesia, merupakan rumah bagi ekosistem Bukit Barisan, yang 90 persennya adalah hutan. “Sektor energi dan sektor forest and land use itu adalah penyumbang terbesar (emisi gas rumah kaca Indonesia),” ujarnya. “Ketika emisi dilepaskan dalam skala yang besar, maka sebenarnya itu bukan hanya berdampak pada Indonesia saja, tetapi juga global.”

Pemerintah Indonesia sendiri sudah mengakui bagaimana pembukaan lahan dapat menimbulkan banjir bandang dan tanah longsor di Sumatera. “Benar-benar mencegah pembabatan pohon-pohon, perusakan hutan-hutan,” kata Presiden Prabowo Subianto, seraya menyebut perlindungan hutan Indonesia sebagai hal yang “penting.”

Investigasi Terhadap Kayu Gelondongan

Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia mengatakan, sedang menyelidiki dari mana asal ribuan kayu gelondongan yang tersapu banjir bandang dan tanah longsor di beberapa wilayah di Sumatera. Kayu-kayu gelondongan yang tersapu banjir bisa berasal dari berbagai sumber, seperti dijelaskan Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Kehutanan Dwi Januanto Nugroho. Menurutnya, kayu yang tebawa banjir bisa berasal dari pohon yang lapuk, material bawaan sungai, area penebangan legal, atau penyalahgunaan izin hak atas tanah dan penebangan liar.

Tapi kemudian Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengatakan, ada delapan perusahaan yang kegiatannya diduga berkontribusi terhadap memburuknya bencana alam di Pulau Sumatera. Ia mengatakan, perusahaan-perusahaan tersebut termasuk perusahaan perkebunan, operator tambang, dan produsen kelapa sawit, yang kegiatan utamanya berada di daerah aliran sungai Batang Toru di Sumatera Utara. Hanif juga mengatakan, izin beroperasi delapan perusahaan tersebut akan dikaji ulang jika pihak berwenang menemukan pelanggaran.

Pengaruh Perkebunan Kelapa Sawit

Ramlan, seorang warga Langkat di Sumatera Utara yang masih belum bisa ke rumahnya, menyalahkan keberadaan perkebunan kelapa sawit di dekatnya. “Taman Nasional Leuser sudah diambil alih oleh kelapa sawit,” ujarnya, merujuk pada taman yang merupakan salah satu dari dua habitat tersisa bagi orangutan Sumatera dan juga rumah bagi gajah, badak, dan harimau. “Saya rasa itulah penyebab banjir bandang ini, air hujan deras tak mampu lagi ditampung oleh hutan,” kata Ramlan.

“Sekarang, rakyat kecil seperti kami yang menanggung beban, dan para pengusaha dari luar Langkat yang menikmati keuntungannya.”

Pendidikan Lingkungan untuk Masa Depan

Bukan hanya disebabkan oleh kegiatan ilegal, bencana ini juga menjadi momentum penting untuk meningkatkan kesadaran lingkungan. Saat menyampaikan belasungkawa kepada masyarakat terdampak di Sumatera, Presiden Prabowo Subianto menyarankan agar pendidikan soal pelestarian lingkungan dimasukkan dalam kurikulum sekolah. “Mungkin perlu kita tambah dalam mata pelajaran tentang kesadaran dan sangat pentingnya kita menjaga lingkungan alam kita, menjaga hutan-hutan kita,” ujarnya.

Direktur WALHI Sumatera Utara Rianda Purba mengatakan, hutan di Sumatera Utara memiliki “signifikansi yang sangat besar”, terutama hutan di sekitar Batang Toru, yang merupakan rumah bagi orangutan dan harimau Sumatera yang terancam punah. “(Tapi) ekosistem Batang Toru ini secara kalau kita lihat ya, itu sudah dikavling-kavling oleh investasi, sudah dibebani izin-izin pertambangan,” ujarnya. “Dari sisi hidrologis, dalam rangka mitigasi perubahan iklim, keanekaragaman hayati, hutan ekosistem Batang Toru (…) itu sangat penting untuk tetap lestari sampai dapat menopang kehidupan anak cucu kita mendatang.”

Pos terkait