Bencana Alam yang Masih Menyisakan Luka
Banjir bandang dan longsor yang terjadi di Kelurahan Lopian, Kecamatan Badirik, Kabupaten Tapanuli Tengah masih meninggalkan luka mendalam bagi warga setempat. Rumah-rumah yang berada di sepanjang daerah ini masih tertimbun lumpur yang mengeras, serta kayu-kayu gelondongan yang terbawa oleh air. Pantauan di lokasi menunjukkan bahwa sekitar satu kilometer rumah-rumah warga rusak akibat hantaman kayu gelondongan yang dibawa oleh air sungai yang meluap.
Jalan-jalan yang sebelumnya digunakan warga juga masih tertutup lumpur. Meskipun sudah dilakukan pembersihan, lumpur setinggi satu meter lebih masih bertahan di sisi kanan dan kiri badan jalan. Hal ini membuat akses ke beberapa wilayah menjadi sangat sulit.
Salah satu korban bencana adalah Misriani Lubis, yang tinggal bersama suaminya yang lumpuh dan anak lelakinya. Rumahnya yang terbuat dari papan kayu hancur total dan tidak bisa ditempati lagi. Hancurnya rumah tersebut disebabkan oleh banjir bandang yang membawa kayu-kayu gelondongan. Saat itu, hanya atap rumah yang terlihat karena tertimbun lumpur dan kayu-kayu.
Tempat usaha keluarga yang biasa menjadi sumber penghasilan mereka juga tertimbun lumpur. Misriani menceritakan bagaimana peristiwa mengerikan terjadi pada 25 November lalu, ketika hujan deras mengguyur daerah tersebut. Pada saat itu, ia, suaminya yang lumpuh, serta anak lelakinya sedang berada di dalam rumah makan. Tiba-tiba, air yang mengandung kayu gelondongan datang dengan cepat dan menghancurkan pemukiman.
Misriani dan anak lelakinya panik mencoba menyelamatkan diri. Karena suaminya tidak bisa bergerak, mereka harus mendorong kursi roda ke bagian belakang rumah, tepatnya di atas bangunan tempat penampungan air setinggi tiga meter. Anak lelakinya naik terlebih dahulu, kemudian Misriani mengangkat suaminya dan menyerahkan kepada anaknya yang sudah berada di atas. Setelah suaminya berhasil naik, barulah Misriani juga naik ke atas.
Menurutnya, situasi darurat memaksa mereka melakukan hal tersebut meski terasa mustahil. Mereka bertahan di atas bak penampungan air selama enam jam, mulai dari pukul 09:00 WIB hingga pukul 15:00 WIB. Akhirnya, ada warga lain yang menolong mereka ke area yang lebih tinggi. Proses penyelamatan melibatkan delapan orang yang berjibaku menurunkan Misriani, suaminya yang lumpuh, dan anaknya. Saat itu, lumpur sudah setinggi leher orang dewasa.
Setelah penyelamatan, mereka mengungsi ke Puskesmas terdekat. Misriani mengungkapkan bahwa air yang datang tidak hanya mengalir, tetapi juga membawa batang kayu dan lumpur. Penyelamatan dilakukan oleh warga dari kampung sebelah.
Kehidupan Pasca-Bencana yang Berat
Bencana alam yang dialami Misriani masih melekat dalam ingatannya. Ia duduk di kursi kayu sambil mengingat ke belakang, merasa sedih karena rumah dan usaha peninggalan mertua mereka hancur. Selama sepuluh hari, mereka tidak mendapatkan air bersih. Untuk bertahan hidup, mereka menampung air hujan, lalu memasaknya menggunakan kayu bakar untuk diminum. Sampai hari ini, belum ada bantuan air bersih dari pemerintah.
Selain itu, listrik juga tidak tersedia selama sepuluh hari, sehingga mereka hidup dalam kegelapan. Misriani mengatakan bahwa air minum mereka berasal dari air hujan yang ditampung dan dimasak. Bahkan, untuk makan pun mereka kesulitan. Mereka hanya mengandalkan bantuan dari pemerintah berupa dapur umum, yang hanya menyediakan makan dua kali sehari, yakni sekitar pukul 10:00 WIB dan pukul 18:00 WIB.
Untuk lauk, terkadang hanya mie instan atau nasi putih. Nasi putih pun hanya seperempat porsi karena harus dibagi dengan warga lainnya. “Alhamdulillah, di tempat kami ini ada dapur umum sudah ada 5 hari pagi dan malam bisa makan. Tetapi, itupun kadang cuma nasi putih,” ujarnya.
Permintaan Bantuan dari Warga
Saat ditemui di rumahnya, Misriani sedang mencungkil-cungkil lumpur kering yang menumpuk di rumah mertuanya. Sedangkan anak lelakinya sedang menyembelih ayam yang dibeli dari tetangga untuk makan. Suaminya terbaring di ranjang tempat tidur karena sakit stroke.
Misriani mengaku tidak berharap banyak kepada pemerintah. Ia hanya meminta bantuan sembako untuk bertahan hidup, alat berat untuk menyingkirkan lumpur yang mengeras, dan air bersih. “Kami membutuhkan air bersih kemudian bahan pokok makanan. Makan mie terus rasanya sudah Indomie sudah bosan,” katanya.
