Tidak semua yang dicintai layak disembuhkan

AA1RRrnS



Ada sebuah ilusi romantis yang sering kita bawa ke dalam relasi: bahwa cinta berarti penyelamatan. Kita percaya bahwa dengan mencintai cukup dalam, dengan bersabar, memberi waktu, pengertian dan pengorakan — kita bisa menyembuhkan luka orang yang kita sayangi. Kita berharap bahwa kesabaran kita akan menjadi obat, bahwa cinta kita akan menjadi tempat mereka pulang. Namun, ketika cinta berubah menjadi beban — ketika harapan jadi penjara, dan pengorbanan menjadi mikrokosmos penderitaan — saat itulah kita perlu menengok kenyataan: tidak semua orang yang kita cintai layak kita selamatkan dari diri mereka sendiri.

Apa Itu “Toxic Relationship”?

Dalam literatur psikologi dan konseling, “toxic relationship” atau “hubungan beracun” bukan sekadar percekcokan atau pertengkaran. Istilah ini merujuk pada relasi antarpersonal di mana pola komunikasi dan interaksi — baik emosional, psikologis, maupun fisik — cenderung merusak kesehatan mental, harga diri, dan kesejahteraan salah satu pihak. Ciri-ciri umum toxic relationship meliputi:

  • Dominasi/ kontrol dari satu pihak
  • Manipulasi emosional
  • Pelecehan psikologis atau verbal
  • Kekerasan fisik atau emosional
  • Kebohongan
  • Pembatasan kebebasan
  • Kurangnya empati

Di luar cinta yang ideal — yang membangun, saling mendukung, menghormati — toxic relationship memupuk luka: membuat salah satu pihak terus merasa takut, tidak berdaya, tertekan, tersiksa batinnya.

Bahaya “Menyembuhkan” Orang yang Menolak Disembuhkan

Banyak penelitian di Indonesia maupun internasional mengonfirmasi bahwa relasi buruk (toxic) memiliki dampak serius bagi kesehatan mental dan fisik korban. Berikut beberapa temuan yang penting:

  • Sebuah studi 2025 dengan pendekatan systematic literature review menemukan bahwa toxic relationship memicu gangguan kesehatan mental (seperti kecemasan, depresi), penurunan harga diri, berkurangnya performa akademik, dan konflik interpersonal.
  • Penelitian terhadap remaja menunjukkan bahwa mereka yang terlibat dalam hubungan toksik berisiko mengalami stres berkepanjangan, gangguan tidur, kurang fokus, ketidakstabilan emosional, hingga gangguan kesehatan fisik.
  • Di era media sosial dan komunikasi digital, pola toxic justru bisa semakin mudah tersebar — tekanan emosional, manipulasi, pengendalian, dan pelecehan bisa dilakukan melalui chat, stalking, atau kontrol online. Studi 2025 menekankan bahwa prevalensi toxic relationship meningkat terkait literasi digital rendah, media sosial, dan kurangnya kesadaran batas sehat.
  • Dari segi fisik dan biologis, relasi yang penuh stres — akibat hubungan buruk — tidak hanya mempengaruhi mental, tapi juga dapat menekan sistem kekebalan tubuh, meningkatkan risiko gangguan jantung, tekanan darah, dan penyakit kronis.

Artinya: ketika kita terus bertahan dalam relasi seperti itu — berharap “menyembuhkan” orang lain — kita tidak sedang berbuat kebaikan pada diri mereka, tetapi mungkin justru mengorbankan diri kita sendiri. Bukan cuma hati dan harga diri, tapi kesehatan mental bahkan fisik bisa terkikis perlahan.

Kenapa Kita Tetap Bertahan?

Mengapa banyak dari kita memilih bertahan, meski sadar ada luka dan sakit? Karena cinta tidak pernah ikut logika — cinta sering ikut rasa, harapan, kenangan, dan kerap ketakutan kita sendiri.

  • Kita takut sendiri — takut kehilangan, takut dijauhi, takut dianggap menyerah.
  • Kita merasa bertanggung jawab: “Aku yang mencintainya, harus bisa membantu.”
  • Kita menuntut harapan: “Mungkin jika aku sabar, dia akan berubah.”
  • Kita meremehkan diri sendiri: mengorbankan kebahagiaan demi orang lain.
  • Kita terjebak dalam dinamika trauma dan kebutuhan validasi — bahwa seseorang butuh kita untuk merasa lengkap.

Padahal, dengan semua itu, kita tidak menyembuhkan. Kita justru menjadi penyembah harapan palsu.

Cinta Sehat — Bukan Proyek Penyembuhan

Cinta yang sehat bukan cinta sebagai proyek penyembuhan. Cinta sehat adalah: ketika dua individu ikut bertumbuh — secara emosional, intelektual, spiritual — saling menghormati, memberi ruang keleluasaan, mendukung pertumbuhan satu sama lain.

Jika kita terus memberi (kasih, pengertian, pengorbanan), dan pasangan hanya mengambil — tanpa memberi kembali, tanpa usaha memperbaiki diri — maka cinta bukan kemitraan, melainkan rantai beban.

Terkadang, menyelamatkan diri kita sendiri adalah tindakan paling berani; melepaskan seseorang bukan berarti kita berhenti mencintai — kadang itu adalah bentuk cinta paling jujur kepada diri sendiri.

Lalu, “Apakah dirimu layak disembuhkan — oleh dirimu sendiri terlebih dulu?”

Pos terkait