Iklim yang semakin menghangat menjadi ancaman serius bagi sektor pertanian, khususnya produksi padi. Dampak perubahan iklim tidak hanya terasa di Indonesia, tetapi juga di berbagai belahan dunia. Penurunan curah hujan, kenaikan suhu, dan fenomena El Nino telah memengaruhi produktivitas tanaman pangan, termasuk padi. Artikel ini akan membahas bagaimana iklim yang berubah memengaruhi produksi padi secara global dan lokal, serta upaya-upaya yang dilakukan untuk menghadapi tantangan ini.
Fenomena El Nino dan Perubahan Iklim
El Nino adalah fenomena alam yang terjadi akibat pemanasan permukaan laut di Samudra Pasifik. Dalam beberapa tahun terakhir, intensitas El Nino meningkat, terutama di Indonesia. Hingga dasarian III September 2023, level El Nino berada di tingkat moderat dengan indeks 1,68. Jika indeks tersebut mencapai 2,0, maka kondisi ini akan masuk ke dalam level kuat. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi bahwa kondisi kering ini akan bertahan hingga Februari 2024 dan mulai melemah pada bulan-bulan berikutnya.
Perlu diketahui bahwa El Nino bersamaan dengan puncak musim kemarau dapat memicu kekeringan di areal tanam padi. Hal ini sangat berpotensi menyebabkan penurunan produktivitas. Menurut Pelaksana Tugas Menteri Pertanian Arief Prasetyo, El Nino berdampak besar pada produksi beras nasional. Daerah sentra produksi seperti Lampung, Jawa, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat tercatat memiliki curah hujan rendah, sehingga memengaruhi ketersediaan air untuk tanaman padi.
Analisis Data Panel dan Pengaruh Suhu serta Curah Hujan
Litbang Kompas melakukan analisis data panel untuk melihat pengaruh variabel-variabel terhadap produksi padi di Indonesia. Variabel yang digunakan antara lain luas lahan, tenaga kerja, pupuk, nilai tukar petani (NTP), curah hujan, dan suhu udara. Hasil analisis menunjukkan bahwa variabel iklim, seperti suhu dan curah hujan, memiliki dampak signifikan terhadap produksi padi.
Dari hasil regresi data panel, ditemukan bahwa setiap kenaikan suhu udara sebesar 1 derajat Celsius akan menurunkan produksi padi sekitar 4.500 ton di setiap provinsi. Di sisi lain, setiap kenaikan curah hujan sebesar 1 milimeter per tahun akan meningkatkan produksi padi sekitar 42 ton per provinsi.
Prediksi Tren Curah Hujan dan Suhu di Masa Depan
Berdasarkan prediksi dari BMKG, ada kecenderungan tren jangka panjang bahwa curah hujan di Indonesia akan terus menurun. Wilayah paling rentan adalah sisi selatan garis khatulistiwa. Fase El Nino diperparah oleh perubahan iklim saat ini, sehingga memperburuk kondisi cuaca.
Data dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) menunjukkan bahwa wilayah Indonesia telah mengalami tujuh kali kondisi kering ekstrem akibat El Nino. Contohnya, pada 2016, produksi padi Indonesia turun sebesar 11,47 persen. Pada 2019, produksi padi nasional juga turun hingga 7,76 persen akibat kondisi kering.
Dampak Kekeringan di Daerah Sentra Produksi
Di beberapa daerah sentra produksi padi, seperti Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, kekeringan telah menyebabkan gagal panen. Petani di Desa Pilang, Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng, dan Desa Purwosari, Kabupaten Barito Kuala, Kalsel, mengalami kesulitan karena sistem irigasi tidak berfungsi akibat kekeringan.
Petani seperti Hamsan dan Misdiana mengaku sangat khawatir karena tanah mereka pecah-pecah dan tidak ada air sama sekali. Mereka hanya bisa menangis melihat keadaan tersebut. Hal serupa dialami oleh Supiyah, yang gagal panen dua tahun terakhir karena jenis lahan rawa pasang surut yang membuat ketersediaan air fluktuatif.
Pengelolaan Lahan dan Manajemen Sumber Daya Air
Faktor cuaca dan iklim berpengaruh signifikan terhadap produksi padi nasional. Implikasinya sangat besar, mulai dari kegagalan panen hingga sulitnya memenuhi ketersediaan pangan nasional. Oleh karena itu, dibutuhkan pengelolaan lahan yang baik melalui manajemen sumber daya air dan kesuburan tanah.
Kepala Pusat Studi Pengelolaan Sumber Daya Lahan UGM Junun Sartohadi menekankan pentingnya identifikasi tipe iklim lokal daerah. Ia menjelaskan bahwa ada wilayah yang kelebihan air, ada yang cukup, dan ada yang kekurangan. Pengelolaan tanah juga perlu disesuaikan dengan kondisi lahan masing-masing daerah.
Selain itu, karakteristik lahan juga menjadi faktor penting. Kepala Pusat Bioteknologi IPB Dwi Andreas Santoso menekankan pentingnya pemahaman tentang hal ini. Ia menjelaskan bahwa klasifikasi kesesuaian lahan padi terkonsentrasi di Jawa karena material vulkanik dari gunung api dan budaya cocok tanam yang sudah ada sejak dahulu.
Pentingnya Kualitas Benih Padi
Dalam menghadapi situasi iklim yang semakin tidak menentu, dibutuhkan varietas benih padi yang resistan terhadap anomali iklim. Perubahan iklim memengaruhi ketahanan tanaman padi, sehingga perlu adanya adaptasi dalam pengelolaan pertanian.
Program Sekolah Lapang Iklim (SLI) yang dilakukan oleh BMKG memberikan pelatihan langsung kepada petani dalam memahami dan memanfaatkan informasi cuaca dan iklim. Hal ini membantu petani merencanakan musim tanam, mengantisipasi risiko bencana, serta meningkatkan produktivitas hasil pertanian.
Proyeksi Perubahan Iklim di Masa Mendatang
Penelitian menggunakan model AquaCrop FAO berbasis data proyeksi iklim dari Project CORDEX-SEA menunjukkan bahwa perubahan iklim berdampak meningkatkan produktivitas padi 0-30% pada bulan-bulan musim hujan di seluruh Pulau Jawa. Namun, pada bulan-bulan musim kemarau, produktivitas padi menurun 60-90% dengan skenario emisi tinggi (RCP8.5) di wilayah sentra produksi padi di pantai utara Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Kondisi ini dapat mengancam ketahanan pangan nasional di masa mendatang jika tidak ada langkah-langkah mitigasi yang tepat. Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi lintas sektor, termasuk pemerintah, lembaga penelitian, dan petani, untuk menghadapi tantangan ini.
Kesimpulan
Iklim yang menghangat dan perubahan iklim secara keseluruhan berdampak signifikan terhadap produksi padi di Indonesia dan dunia. Fenomena El Nino, kenaikan suhu, dan penurunan curah hujan telah menyebabkan penurunan produktivitas padi di berbagai daerah. Dengan data yang menunjukkan bahwa setiap kenaikan suhu 1 derajat Celsius akan menurunkan produksi padi sekitar 4.500 ton, serta penurunan curah hujan yang terus berlangsung, diperlukan strategi pengelolaan lahan dan manajemen sumber daya air yang lebih baik.
Selain itu, penggunaan varietas benih padi yang resistan terhadap perubahan iklim sangat penting. Program SLI yang dilakukan oleh BMKG juga menjadi salah satu solusi untuk membantu petani dalam menghadapi tantangan iklim. Kolaborasi antara pemerintah, ilmuwan, dan petani diperlukan untuk memastikan ketahanan pangan nasional di masa depan.
Jika Anda ingin mengetahui lebih lanjut tentang upaya-upaya pemerintah dalam menghadapi perubahan iklim dan menjaga ketahanan pangan, silakan kunjungi situs resmi BMKG atau lembaga terkait lainnya.
