Maraknya Kasus Self-Harm dan Kekerasan: Cara Influencer Edukasi Pencarian Bantuan Profesional

Di tengah meningkatnya kasus self-harm dan kekerasan di kalangan remaja, para influencer kini berperan penting dalam memberikan edukasi tentang cara mencari bantuan profesional. Berdasarkan penelitian terbaru, paparan konten self-harm di media sosial dapat meningkatkan risiko perilaku merusak diri (NSSI) pada remaja. Hal ini memicu respons aktif dari komunitas digital, khususnya para influencer yang menggunakan platform mereka untuk menyebarkan kesadaran dan sumber daya bantuan.

Fakta Utama

Menurut sebuah studi yang diterbitkan oleh JAMA Pediatrics, paparan konten self-harm di media sosial berkorelasi dengan peningkatan intensitas keinginan untuk melakukan NSSI. Dalam penelitian tersebut, 50% peserta melaporkan melihat konten self-harm selama periode studi, dan ada hubungan signifikan antara paparan mingguan dan keinginan serta perilaku NSSI. Namun, tidak ada korelasi antara paparan konten self-harm dan pikiran bunuh diri dalam minggu yang sama.

“Konten self-harm bisa sangat menarik bagi remaja, terutama jika mereka sedang mengalami kesulitan emosional,” kata Dr. Sarah Thompson, psikolog klinis yang terlibat dalam penelitian tersebut. “Namun, penting untuk memahami bahwa paparan ini bukanlah penyebab langsung, tetapi bisa menjadi faktor pemicu.”

Konfirmasi & Narasi Tambahan

Para influencer seperti @MiraWijaya dan @RizkyFauzi mengambil inisiatif untuk mengedukasi audiens mereka tentang pentingnya mencari bantuan profesional. Mira Wijaya, yang memiliki lebih dari 100 ribu pengikut, sering membagikan informasi tentang layanan konseling dan hotline darurat. “Saya ingin membantu remaja memahami bahwa mereka tidak sendirian dan ada orang yang peduli,” ujarnya.

Sementara itu, Rizky Fauzi, seorang aktivis mental health, mengatakan bahwa banyak remaja tidak tahu bagaimana mencari bantuan. “Banyak dari mereka hanya menonton konten tanpa memahami konsekuensi atau solusi yang tersedia,” katanya. “Kami berupaya memberikan panduan jelas tentang langkah-langkah yang harus diambil.”

Data Pendukung

Menurut data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC), sekitar 660.000 kunjungan ke ruang gawat darurat terkait cedera diri pada tahun 2021. Dari jumlah tersebut, 70-90% kasus melibatkan pemotongan kulit, yang merupakan bentuk paling umum dari NSSI. Selain itu, penelitian lain menunjukkan bahwa individu yang terpapar konten self-harm dua kali lebih mungkin mengalami pikiran bunuh diri dan tiga kali lebih mungkin melakukan NSSI.

Analisis Konteks

Peningkatan kasus self-harm dan kekerasan di kalangan remaja tidak hanya menjadi masalah kesehatan mental, tetapi juga menjadi isu sosial yang perlu diperhatikan. Dalam beberapa tahun terakhir, media sosial telah menjadi wadah utama bagi remaja untuk berbagi pengalaman dan mencari dukungan. Namun, hal ini juga membuka ruang bagi konten yang tidak sehat, termasuk konten self-harm.

“Influencer memiliki kekuatan besar untuk memengaruhi perilaku remaja,” kata Dr. Arief Budiman, pakar psikologi sosial. “Dengan menggunakan platform mereka, mereka bisa menyebarkan informasi yang benar dan membantu mengurangi stigma terhadap bantuan profesional.”

Data Pendukung

Data dari World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa sekitar 10% populasi remaja di Indonesia mengalami gejala gangguan mental, termasuk depresi dan kecemasan. Ini membuat mereka rentan terhadap perilaku merusak diri. Namun, hanya sebagian kecil dari mereka yang mencari bantuan profesional.




Related posts