Lead:
Kasus bullying yang terjadi di sekolah dan ruang digital semakin marak, memicu tuntutan adanya regulasi hukum perlindungan anak yang lebih ketat. Pemerintah dan lembaga terkait kini diminta untuk segera mengambil langkah nyata guna mencegah kekerasan terhadap anak.
Fakta Utama
Bullying, baik secara fisik, psikis, maupun seksual, telah menjadi isu serius di Indonesia. Beberapa kasus terbaru seperti penganiayaan siswa SMP di Jakarta pada 2020, pengeroyokan di Bandung pada 2021, dan pencemaran nama baik di Surabaya pada 2022 menunjukkan bahwa masalah ini tidak hanya berlangsung di lingkungan sekolah, tetapi juga melalui media sosial.
Menurut UU No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, setiap bentuk kekerasan terhadap anak dilarang, termasuk bullying. Ancaman hukuman bisa mencapai pidana penjara selama 15 tahun atau denda hingga Rp3 miliar, tergantung tingkat keparahan kekerasan. Selain itu, KUHP juga menyediakan pasal-pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku, seperti Pasal 351 KUHP untuk penganiayaan, Pasal 170 KUHP untuk pengeroyokan, dan Pasal 310 KUHP untuk pencemaran nama baik.
Konfirmasi & Narasi Tambahan
Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Wamen PPPA), Veronica Tan, menegaskan bahwa upaya pencegahan bullying harus dilakukan secara kolaboratif. “Pencegahan perundungan tidak bisa dilakukan sendirian, tapi perlu komitmen bersama dari keluarga, pemerintah, dan masyarakat,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra, menyoroti pentingnya keberadaan satuan pendidikan ramah anak. Ia menilai bahwa keberadaan geng GT di Binus School Serpong, yang diduga melakukan bullying ekstrem, menunjukkan kegagalan sekolah dalam mendeteksi dan mencegah kekerasan.
“Sekolah harus lebih proaktif dalam mengidentifikasi ancaman di lingkungan mereka, termasuk di area sekitar sekolah,” katanya.
Analisis Konteks
Kasus bullying di Binus School Serpong pada Februari 2024 menjadi bukti bahwa masalah ini tidak hanya terjadi di satu tempat, tetapi juga melibatkan struktur organisasi seperti geng GT. Dalam kasus ini, empat tersangka dan delapan anak berkonflik dengan hukum (ABH) telah ditetapkan oleh polisi. Motif kekerasan disebut berasal dari “tradisi tak tertulis” untuk bergabung dalam kelompok tersebut, yang menunjukkan bahwa budaya sekolah yang tidak sehat memperkuat perilaku agresif.
Selain itu, pengamat sosial Devie Rahmawati menjelaskan bahwa faktor emosional dan kurangnya sarana ekstrakurikuler yang memadai membuat remaja cenderung terjebak dalam kekerasan. “Anak-anak butuh panggung untuk mengekspresikan diri, jika tidak, mereka akan mencari cara lain, seperti kekerasan,” ujarnya.
Data Pendukung
Berdasarkan data dari KPAI, jumlah kasus bullying di sekolah meningkat signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2023 saja, tercatat lebih dari 1.000 laporan kasus bullying yang diterima lembaga tersebut. Di sisi lain, UU Perlindungan Anak memberikan perlindungan hukum yang jelas bagi korban, namun implementasinya masih kurang optimal.
Kesimpulan & Rekomendasi
Meski regulasi hukum sudah ada, implementasi yang efektif masih menjadi tantangan. Pemerintah perlu memperkuat sistem perlindungan anak melalui pendekatan yang menyeluruh, termasuk penguatan literasi digital, edukasi publik, dan pembentukan satuan pendidikan ramah anak. Selain itu, kerja sama antara sekolah, keluarga, dan pemerintah sangat penting untuk mencegah bullying dan melindungi anak dari kekerasan.
