Program Internet Gratis di Jawa Tengah: Langkah Strategis untuk Mengurangi Kesenjangan Digital
Program internet gratis yang sedang digalakkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menjadi langkah strategis dalam memperkecil kesenjangan digital di daerah pedesaan. Sejak tahun 2022, Pemprov mencatat adanya 997 titik blankspot atau wilayah yang tidak tersentuh sinyal seluler maupun akses internet di Jawa Tengah. Hingga tahun 2025, sebanyak 492 titik berhasil terkoneksi internet, sementara 505 titik sisanya masih belum terjangkau dan diproyeksikan menjadi prioritas penyelesaian hingga tahun 2029.
Konektivitas ini bukan hanya sekadar hadirnya Wi-Fi publik di balai desa atau kawasan wisata, tetapi juga menjadi fondasi penting bagi transformasi digital desa, peningkatan kualitas pelayanan publik, serta pengembangan ekonomi lokal. Banyak desa di Jawa Tengah yang menggantungkan potensi ekonominya pada pariwisata alam, UMKM, kerajinan, maupun pertanian. Dengan internet, mereka bisa terhubung dengan pasar digital yang lebih luas, sehingga peluang bisnis semakin terbuka.
Namun, keberhasilan pembangunan infrastruktur digital tidak otomatis menghasilkan masyarakat yang cakap secara digital. Tantangan terbesar justru terletak pada kesiapan masyarakat dalam memanfaatkan internet secara aman, produktif, dan berkelanjutan. Karena itu, agenda penting yang harus berjalan beriringan adalah mempersiapkan masyarakat dengan literasi digital, sekaligus mempercepat akselerasi peluang-peluang digital yang muncul setelah akses tersedia.
Keterjangkauan internet di desa tidak hanya untuk layanan hotspot wisatawan dan media pembayaran digital konsumen, tetapi juga peluang-peluang baru yang terbuka karena akses ke dunia luar. Tanpa literasi digital yang memadai, peluang-peluang ini dapat berubah menjadi kerentanan baru. Literasi digital kini bukan sekadar kemampuan menggunakan ponsel cerdas atau membuka aplikasi, tetapi mencakup pemahaman keamanan data, verifikasi informasi, etika bermedia, kemampuan mengelola jejak digital, hingga keterampilan memanfaatkan platform untuk kegiatan produktif di ruang digital.
Di desa-desa yang sebelumnya masuk kategori blankspot, kebutuhan pendampingan bahkan lebih besar. Banyak warga yang mungkin baru pertama kali menggunakan akses internet publik, sehingga potensi paparan disinformasi, penipuan online, dan eksploitasi data pribadi menjadi lebih tinggi. Mereka membutuhkan kemampuan untuk membedakan informasi benar dan salah, mengenali modus kejahatan digital, serta memahami batas aman dalam menggunakan layanan digital. Tanpa pendampingan, internet yang seharusnya menjadi jembatan peningkatan kesejahteraan bisa justru menjadi pintu masuk masalah baru.
Hal ini perlu menjadi agenda edukasi yang tidak kalah penting di samping Pembangunan jaringan fisiknya. Pemerintah desa, pendamping digital, perguruan tinggi, maupun komunitas lokal perlu aktif terlibat. Program seperti Desa Cerdas, Komunitas Penggerak Literasi, Pengembangan Ekonomi Digital, atau Pusat Belajar Digital dapat menjadi wadah untuk memastikan masyarakat tidak hanya menjadi pengguna internet, tetapi juga produsen manfaat digital.
Jika saat ini disebutkan telah berhasil meningkatkan kunjungan wisata dan transaksi digital, target berikutnya yang sudah perlu direncanakan adalah kemampuan mengelola konten yang baik, memahami pemasaran online yang etis, dan menjaga keamanan transaksi. Fokus tidak semata-mata pada konsumen atau wisatawan, tetapi juga mendorong warganya menjadi produktif sebagai produsen konten dan penyedia layanan digital.
Bahkan, jangan sampai masyarakat hanya menjadi konsumen pasif di ruang digital. Tanpa literasi yang memadai, akses internet justru berpotensi mendorong pola penggunaan internet yang tidak produktif, seperti kebiasaan menghabiskan waktu berjam-jam untuk scroll video pendek, bermain gim tanpa kendali waktu, hingga terlibat dalam aktivitas berisiko tinggi seperti judi online yang kini dengan mudah menjangkau pengguna di wilayah terpencil sekalipun.
Bercermin pada fenomena yang sudah terjadi di tingkat nasional, di mana peningkatan akses internet tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan kualitas pemanfaatannya. Godaan konten hiburan yang tidak ada habisnya cenderung lebih cepat menguasai pengguna daripada konten edukatif atau produktif. Algoritma platform digital yang dirancang untuk mempertahankan atensi, apabila tidak diimbangi dengan bekal literasi digital, masyarakat dapat dengan mudah terjebak dalam pola konsumsi yang pasif, adiktif, dan tidak memberi nilai tambah bagi kehidupan sosial maupun ekonomi mereka.
Pendampingan literasi digital juga perlu menekankan kemampuan memilih, memilah, dan mengelola waktu online secara sehat dan tepat untuk berbagai kepentingan yang berbeda. Akses internet seharusnya menjadi sarana untuk meningkatkan keterampilan, memperluas jaringan usaha, mencari peluang pendapatan, dan membuka ruang kreativitas. Jangan sampai malah sekadar menjadi tempat menghabiskan waktu tanpa arah.
Infrastruktur digital sebagai pintu pembuka peluang, sedangkan literasi digital menjadi kunci untuk memastikan peluang itu benar-benar menjadi kenyamanan dan kesejahteraan. Karena itu, agenda literasi digital perlu mengikuti dengan kecepatan yang sama. Akses internet tanpa pemahaman yang cukup dapat memperbesar risiko sosial dan melahirkan ketimpangan baru. Sebaliknya, akses yang dibarengi literasi digital dapat menjadikan desa-desa di Jawa Tengah jauh lebih mandiri, adaptif, dan kompetitif.
Visi Desa Cerdas dapat dikatakan tercapai ketika literasi digital tumbuh bersamaan dengan ekspansi internet gratis dari pemerintah. Warganya mampu mengelola informasi, menjaga keamanan digital, dan memanfaatkan teknologi untuk aktivitas produktif, sehingga peluang ekonomi, pendidikan, wisata, dan layanan publik bisa terakselerasi lebih cepat. Masyarakat dapat melompat lebih jauh ke dalam ekosistem digital yang inklusif, aman, dan berkelanjutan. Internet tidak sekadar hadir sebagai hiburan, tetapi sungguh-sungguh menjadi penggerak kesejahteraan dan kemandirian desa dan warganya.
