Polemik Pelepasan Kawasan Hutan di Riau
Polemik terkait pelepasan kawasan hutan seluas 1,64 juta hektare di Riau oleh Menteri Kehutanan periode 2009–2014, Zulkifli Hasan (Zulhas), kembali memanas. Isu ini muncul setelah munculnya sebuah video di TikTok yang menyebut bahwa Zulhas mengizinkan jutaan hektare hutan dibabat untuk menjadi lahan sawit. Video tersebut diunggah oleh akun @info_nusantara45 dengan narasi:
“Zulkifli Hasan mengizinkan 1,64 juta hektare hutan dibabat untuk menjadi lahan sawit.”
Namun, apakah benar pelepasan kawasan hutan tersebut ditujukan untuk konsesi sawit? Berikut penjelasannya.
Mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan era Zulhas, Hadi Daryanto, menegaskan bahwa kebijakan pelepasan kawasan hutan seluas 1,6 juta hektare tidak berkaitan dengan izin perkebunan sawit. Ia menjelaskan bahwa kebijakan tersebut murni untuk kebutuhan tata ruang Provinsi Riau.
Kebijakan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 673/Menhut-II/2014 dan SK 878/Menhut-II/2014, yang berisi perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan.
“Ya betul tidak berkaitan dengan izin kebun sawit hanya untuk tata ruang provinsi. Menhut menerbitkan SK 673/2014 seluas 1.638.294 Ha sebagai kawasan non hutan dalam rangka tata ruang provinsi (Riau) akibat pemekaran kota/kabupaten,” kata Hadi dalam keterangan resmi, Sabtu (6/12/2025).
Ia menjelaskan, SK tersebut merupakan respons terhadap usulan resmi pemerintah daerah dan aspirasi masyarakat yang membutuhkan kepastian ruang untuk pembangunan.
Hadi menegaskan, klaim lahan tersebut dilepas untuk pengusaha sawit tidak sesuai dengan lampiran peta resmi SK. Tiga kategori peruntukan lahan yang dilepaskan adalah:
- Pemukiman penduduk
- Fasilitas sosial dan umum (jalan, sekolah, rumah sakit, tempat ibadah)
- Lahan garapan masyarakat
“Pembebasan lahan hutan untuk pemukiman penduduk yakni meliputi kawasan desa, kecamatan, dan perkotaan yang telah padat penghuni,” ujarnya.
Sementara untuk fasilitas sosial dan umum meliputi infrastruktur vital seperti jalan raya provinsi/kabupaten, gedung sekolah, tempat ibadah, dan rumah sakit yang sebelumnya berdiri di atas lahan berstatus hutan.
Hadi menambahkan, sebagian besar lahan yang dilepas ditujukan untuk garapan masyarakat, seperti area pertanian dan perkebunan rakyat yang sudah dikelola turun-temurun.
Ia menyebut seluruh provinsi wajib mengajukan revisi RTRWP. Dalam Perda Riau 10/1994, alokasi ruang non-kehutanan mencapai 4,34 juta hektare.
Berdasarkan kajian ilmiah sesuai UU 41/1999, tim rekomendasi Kementerian Kehutanan menyetujui perubahan kawasan hutan seluas 2,7 juta hektare.
Namun, Zulhas saat itu justru mengeluarkan keputusan lebih kecil dari usulan provinsi dan rekomendasi tim.
“Berdasarkan management authority Menhut (Zulhas) hanya menetapkan seluas 1.6 jt Ha untuk Tata Ruang Provinsi, (bukan untuk korporasi, mengingat pemekaran kota/kabupaten, infrastruktur),” kata Hadi.
Tujuan utama penerbitan SK tersebut, kata Hadi, memberikan kepastian hukum bagi warga. Tanpa revisi tata ruang, ribuan penduduk secara teknis akan dianggap tinggal secara ilegal di kawasan hutan.
Isi inti SK tersebut dijelaskan dalam klausul ketiga, yaitu perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan seluas ±1.638.249 hektare, perubahan fungsi kawasan hutan ±717.543 hektare, serta penunjukan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan ±11.552 hektare di Riau.
“Sekali lagi ini lebih kecil daripada usulan TIMDU atau jauh lebih kecil daripada PERDA Riau,” ujarnya.
Jadi, narasi Zulkifli Hasan mengizinkan 1,64 juta hektare hutan di Riau dibabat untuk konsesi sawit, dibantah eks Sekjen Kementerian Kehutanan, Hadi Daryanto. Pelepasan itu diklaim untuk kebutuhan tata ruang Provinsi Riau sesuai SK Menteri Kehutanan Nomor 673/Menhut-II/2014 dan SK 878/Menhut-II/2014.
