https://soeara.com
, JAKARTA — Laporan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menunjukkan bahwa dampak besar dari bencana banjir dan longsor yang terjadi di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat tidak hanya disebabkan oleh perubahan bentang alam akibat aktivitas tambang mineral dan batu bara, tetapi juga karena pengembangan proyek energi terbarukan.
JATAM mencatat adanya setidaknya 28 proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang beroperasi atau sedang dikembangkan di Pulau Sumatra. Sebaran terbesar berada di Sumatra Utara dengan 16 titik, diikuti Bengkulu dengan lima PLTA, Sumatra Barat dengan tiga PLTA, Lampung dua PLTA, dan Riau memiliki dua PLTA.
“Sebaran operasi PLTA ini menunjukkan bahwa hampir semua provinsi di Sumatra sedang didesak menjadi basis energi air yang penuh risiko ekologis,” tulis laporan JATAM.
Di antara proyek tersebut, terdapat PLTA Batang Toru dan PLTA Sipansihaporas di Sumatra Utara yang memanfaatkan aliran dari salah satu daerah aliran sungai (DAS) utama di ekosistem Batang Toru. Kawasan yang sangat penting secara ekologis kini dipenuhi bendungan, terowongan air, dan infrastruktur lain sesuai laporan JATAM.
Berdasarkan analisis deret waktu citra Google Satellite/Google Imagery yang dilakukan JATAM per 28 November 2025, proyek PLTA Batang Toru sendiri telah membuka sedikitnya 56,86 hektare kawasan hutan di sepanjang aliran sungai untuk bangunan utama, kolam, jalan, dan area penunjang. Hal ini tampak jelas sebagai pelebaran area terbuka di tubuh ekosistem.
“Kehadiran PLTA dalam skala masif memodifikasi aliran sungai, mengubah pola sedimen, dan memperbesar risiko banjir maupun longsor di hilir ketika kombinasi curah hujan ekstrem dan pengelolaan bendungan yang buruk terjadi bersamaan,” lanjut laporan tersebut.
Sementara itu, perluasan energi panas bumi juga mengunci ruang hidup di banyak kawasan pegunungan pulau Sumatra. Saat ini terdapat delapan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) yang sudah beroperasi.
Empat PLTP berada di Sumatra Utara, satu di Sumatra Barat, dua di Sumatra Selatan, dan satu di Lampung. Angka ini belum termasuk wilayah yang masih berstatus Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi (WPSPE) maupun Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) yang sedang dieksplorasi.
Artinya, masih ada lapisan risiko baru di masa depan ketika WPSPE dan WKP ini naik kelas menjadi operasi penuh, disertai pembukaan hutan untuk sumur produksi, jaringan pipa, dan akses jalan. Apalagi, sebagian besar proyek panas bumi berada di lereng-lereng gunung berbentang curam. Kombinasi pembukaan hutan, pengeboran, dan perubahan struktur tanah berpotensi menambah kerentanan terhadap longsor dan banjir bandang.
“Jika seluruh angka ini disatukan, terlihat jelas bahwa wajah Sumatra saat ini adalah pulau yang tubuh ekologisnya dibebani tiga lapis industri sekaligus, yakni tambang minerba yang merusak tutupan hutan dan tanah, PLTA yang memotong dan mengatur ulang aliran sungai, serta PLTP berikut WPSPE/WKP yang menggali kawasan pegunungan dan hulu DAS,” tulis JATAM.
Adapun gambar satelit memperlihatkan bahwa pembangunan PLTA Batang Toru berkapasitas 510 megawatt (MW) yang turut didanai China berkontribusi pada alih fungsi kawasan di DAS Batang Toru. PLTA tersebut ditargetkan mulai beroperasi pada 2026.
Sementara itu, Reuters dalam laporannya menyebutkan tidak bisa memperoleh konfirmasi dari North Sumatra Hydro Energy, pengelola PLTA tersebut. Induk dari perusahaan tersebut, yakni SDIC Power Holdings dari China, juga tidak langsung memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan.
Sementara itu, Walhi pernah mengajukan gugatan pada 2018 untuk mencabut izin pemerintah terkait proyek PLTA tersebut di Pengadilan Tata Usaha Negara, namun gugatan itu ditolak pada 2019.
“Bencana ini bukan semata-mata akibat faktor alam, tetapi juga faktor ekologis, yakni salah kelola sumber daya alam oleh pemerintah,” ujar Walhi.
