Keamanan Kebijakan sebagai Dasar Hulu Migas

BB16TizH

Peningkatan Produksi Migas untuk Ketahanan Energi Nasional

Pemerintah telah menetapkan program peningkatan produksi migas untuk memperkuat ketahanan energi nasional. Hingga akhir 2025, produksi minyak diproyeksikan mencapai 608 ribu barel per hari (MBOPD), meningkat dari capaian 2024 yang berada pada kisaran 578 MBOPD. Untuk gas bumi, produksi diproyeksikan mencapai 6.910 juta kaki kubik standar per hari (MMSCFD), lebih tinggi dibandingkan realisasi 2024 sebesar 6.633 MMSCFD.

Menggunakan dua skenario proyeksi yaitu mid-case dan high-case, SKK Migas (2025) memproyeksikan bahwa produksi minyak pada 2029 dapat mencapai 670 hingga 901 MBOPD. Sementara untuk gas bumi, proyeksi produksi pada tahun yang sama diperkirakan mencapai 7.303 hingga 8.439 MMSCFD.

Kebutuhan Investasi untuk Mencapai Target Produksi 2029

Kebutuhan investasi untuk mencapai target produksi 2029 diperkirakan sebesar US$106 miliar sepanjang periode 2025–2029. Secara tahunan, kebutuhan investasi berada pada kisaran US$19 miliar hingga US$25 miliar, atau setara dengan pertumbuhan rata-rata sekitar 11,37% per tahun (SKK Migas, 2024). Jumlah tersebut lebih tinggi dari realisasi investasi saat ini yaitu sekitar US$16,5-16,9 miliar, dengan rata-rata kenaikan selama lima tahun terakhir sekitar 9,51% per tahun. Untuk merealisasikannya diperlukan iklim dan suasana berusaha yang kondusif. Dalam konteks ini, perbaikan regulasi di sektor hulu migas menjadi salah satu aspek terpenting.

Tantangan dalam Daya Saing Sektor Hulu Migas

Studi Indonesia Petroleum Association (IPA) dan Wood Mackenzie (2023) menunjukkan, posisi Indonesia dalam Upstream Competitiveness Index (UCI) masih relatif rendah dibandingkan negara-negara Asia Pasifik. Dalam fiscal attractiveness Indonesia tercatat berada di peringkat 16 dari 21 negara, berada di bawah beberapa negara seperti Malaysia, Brunei, dan Australia.

Laporan IHS Markit S&P Global (Juni 2025) menyebut Indonesia mencatat peningkatan signifikan pada overall attractiveness rating hulu migas, dari di bawah 4,75 pada 2021 menjadi 5,35 pada 2025. Namun, laporan itu juga menyoroti stagnasi rating hulu migas selama kurang lebih lima tahun terakhir di aspek yang berkaitan dengan regulasi-kepastian hukum.

Perbaikan Regulasi Hulu Migas

Perbaikan regulasi hulu migas di Indonesia pada dasarnya ditujukan untuk menata (menghadirkan) kembali tiga elemen mendasar yang setidaknya “hilang” sejak diberlakukannya UU Migas No.22/2001, yaitu:

  • Dipisahkannya urusan administrasi dan keuangan Kontrak Kerja Sama dengan urusan pemerintahan dan keuangan negara;
  • Penerapan prinsip single door bureaucracy / single institution model yang mengurus hal administrasi/birokrasi/perizinan Kontrak Kerja Sama (Production Sharing Contract, PSC);
  • Penerapan prinsip assume and discharge di dalam perpajakan (indirect taxes) PSC.

Perbaikan regulasi yang diperlukan mencakup tataran praktikal maupun tataran fundamental secara lebih komprehensif dan mendasar. Perbaikan regulasi di tingkat praktikal diperlukan untuk mendukung kegiatan usaha hulu migas secara umum dan sekaligus sebagai enabler di tingkat operasionalnya.

Prioritas Perbaikan Regulasi di Tingkat Praktikal

Pada tataran praktikal ini sejumlah perbaikan regulasi yang prioritas perlu dilakukan utamanya berkaitan dengan:

  • Perizinan kegiatan usaha hulu migas;
  • Perlindungan hukum terhadap kriminalisasi kebijakan/tindakan bisnis;
  • Fasilitas perpajakan terhadap indirect taxes;
  • Tax loss carry forward terkait perubahan KBH Gross Split menjadi KBH Cost Recovery;
  • Tingkat Komponen dalam Negeri (TKDN);
  • Regulasi Proyek Strategis Nasional.

Perizinan hulu migas saat ini melibatkan hingga sebanyak 140 jenis izin dan harus berhubungan dengan 17 Kementerian/Lembaga lintas sektor seperti lingkungan, kehutanan, kelautan, dan pertanahan. Waktu dan proses yang panjang serta koordinasi antar lembaga yang belum optimal seringkali menghambat project scheduling dan meningkatkan risiko di aspek non-technical.

Diperlukan perubahan sistem perizinan dengan memberlakukan lex specialis (melalui Peraturan Presiden) yang menginternalisasi perizinan kegiatan usaha hulu migas (KUHM). Perizinan KUHM tidak seharusnya diproses sebagai “izin” yang dimohonkan secara terpisah ke berbagai kementerian/lembaga, melainkan sebagai “persetujuan” atau “penetapan” yang diputuskan secara terintegrasi dalam satu sidang yang dipimpin oleh leading sector (Kementerian ESDM). Penerapan Key Performance Indicator (KPI) atau standar waktu layanan dan konsolidasi proses antar instansi menjadi sangat penting.

Perlindungan Hukum dan Fasilitas Perpajakan

Potensi kriminalisasi tindakan korporasi-bisnis yang masih menjadi sumber kekhawatiran pelaku industri. Diperlukan pengaturan batasan yang jelas antara aspek administratif, keperdataan, dan pidana dalam berbagai regulasi, seperti Undang – Undang (UU) Tipikor, UU Perbendaharaan Negara, dan UU Pemeriksaan Keuangan. Perlu dikeluarkan Instruksi Presiden dengan mengadopsi model norma dan proses perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (Inpres 1/2016).

Dalam hal Tax Loss Carry Forward (TLCF) terkait perubahan PSC Gross Split ke PSC Cost Recovery, persetujuan atas perubahan bentuk kontrak dari PSC Gross Split ke PSC Cost Recovery mestinya berlaku surut pada saat pengajuan. Sehingga, nilai kompensasi TLCF bisa diperhitungkan dalam kontrak baru dengan skema PSC Cost Recovery.

Terkait indirect taxes, untuk PSC Cost Recovery, diperlukan penerapan kembali mekanisme pajak assume & discharge bagi KKKS PSC Cost Recovery untuk pajak-pajak tidak langsung, seperti PBB, PPN, PPNBM, dan lain-lain. Dalam konteks ini, revisi PP 79/2010 jo. PP 27/2017 untuk insentif perpajakan agar dapat diajukan tanpa persyaratan keekonomian. Untuk PSC Gross Split, pemberian fasilitas pajak kepada KKKS tanpa syarat Surat Keterangan Fasilitas Perpajakan (SKFP). Diperlukan revisi PP 53/2017 untuk menambah fasilitas pembebasan pajak tidak langsung pada masa eksploitasi dan tanpa persyaratan perhitungan keekonomian.

Penyesuaian Regulasi TKDN dan Penggunaan Kapal

Regulasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) memerlukan penyesuaian dalam bentuk relaksasi. Relaksasi bersifat selektif, diberikan untuk persyaratan TKDN barang tertentu pada kondisi dimana bila hanya satu pabrikan saja yang dapat menyediakan barang tersebut.

Terkait kewajiban penggunaan kapal berbendera Indonesia sebagaimana diatur dalam UU Pelayaran, sering kali menimbulkan hambatan bagi proyek migas yang bersifat mendesak atau membutuhkan kapal teknologi khusus. Perlu regulasi yang memberikan relaksasi terbatas dengan mekanisme izin cepat untuk menjaga kelancaran operasi.

Status Proyek Strategis Nasional

Penetapan status sejumlah proyek hulu migas sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) berpeluang memberikan percepatan, kepastian, dan prioritas penanganan yang sangat dibutuhkan, terutama bagi proyek besar yang memiliki dampak signifikan terhadap produksi nasional.

Revisi UU Migas untuk Kerangka Regulasi yang Lebih Kuat

Pada tataran fundamental, penyelesaian revisi UU Migas Nomor 22 Tahun 2001 perlu disegerakan agar pemerintah dan industri hulu migas memiliki kerangka regulasi yang lebih kuat yang dapat melindungi sanctity of contract dan menjamin kepastian hukum, kepastian fiskal, serta menyederhanakan administrasi/birokrasi/perizinan kegiatan usaha hulu migas.

Pos terkait