Kondisi Darurat Banjir dan Longsor Aceh, Tiga Bupati Menyerah

Kondisi Darurat di Aceh: Tiga Bupati Mengakui Kesulitan

Bencana banjir dan longsor yang melanda wilayah Aceh telah mencapai titik kritis, memaksa tiga kepala daerah secara terbuka menyatakan tidak lagi sanggup menangani dampak bencana di wilayah mereka. Pengakuan ini diungkapkan oleh Bupati Aceh Timur, Iskandar Usman Al Farlaky, yang menyebutkan tiga rekannya Bupati Aceh Tengah, Aceh Selatan, dan Pidie Jaya sudah mengangkat bendera putih.

Tiga Bupati itu menyerah bukan tanpa sebab. Kendala minimnya alat berat, keterbatasan anggaran, dan akses jalan yang terputus total membuat mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Iskandar bahkan memperingatkan dirinya pun akan menyusul menyerah jika pemerintah pusat tidak segera memberikan bantuan.

Tiga Bupati yang menyerah lebih awal adalah Bupati Aceh Tengah Haili Yoga, Bupati Aceh Selatan Mirwan MS, dan Bupati Pidie Jaya Sibral Malasyi. “Memang ada tiga kabupaten atau tiga bupati, teman saya, yang mengangkat bendera putih. Mereka dari Aceh Tengah, Aceh Selatan, dan Pidie Jaya,” kata Iskandar.

Berbeda dengan tiga daerah lain, Iskandar menyebut dirinya masih berusaha bertahan untuk menyalurkan bantuan kepada warga Aceh Timur, meski banjir belum juga surut dan akses ke desa-desa masih banyak yang terputus. Iskandar menjelaskan, pemerintah daerah menghadapi kendala besar, terutama minimnya alat berat dan keterbatasan anggaran. Bahkan alat berat milik daerah yang ada dalam kondisi rusak parah sehingga tidak bisa difungsikan.

“Walaupun daerah punya alat berat tapi kondisinya rusak berat, tidak bisa kita fungsikan. Kemudian dari sisi anggaran, tidak mungkin daerah yang punya anggaran BTT-nya hanya 2 miliar. Tapi saat ini seperti kondisi kami tersisa Rp800 juta,” papar Iskandar.

Iskandar lantas mengatakan, dengan kondisi demikian, pemerintah daerah tidak mungkin bisa menanganinya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah pusat. “Kalau pemerintah pusat membiarkan kami berjuang sendiri di daerah, terus terang dua atau tiga hari lagi saya juga akan angkat bendera putih menyerah dengan kondisi ini,” ucapnya.

“Ketika sumber daya yang kami miliki kurang, ke mana kami harus mengadu lagi? kalau misalnya ada saran dari teman-teman BNPB gunakan kekuatan keuangan daerah, kekuatan keuangan yang mana kita gunakan?” katanya lagi.

Iskandar pun menjelaskan pihaknya tidak mungkin menghabiskan semua uang yang tersisa di pemerintah daerah. “Kalau saya gunakan semua bagaimana kita bayar listrik? bagaimana kita gaji aparatur? kita perkirakan lebih kurang daya rusak yang ditimbulkan ini hampir mencapai Rp3 triliun. Ini kendala-kendala kami di lapangan,” paparnya.

Bahkan, kata Iskandar, hingga kini masih ada desa yang belum bisa ditembus untuk diberi bantuan. “Kita harus putar ke daerah kecamatan yang lain yang berjam-jam, sementara mereka tidak makan. Kalau stok beras saya punya hari ini, tapi Indomie tidak ada, minyak goreng tidak ada, sarden tidak ada” sebutnya.

“Kalau saya kasih beras saja, maka mereka bagaimana makannya? Air mineral, air bersih tidak ada yang bisa kita pasok, 3 hari ini solar BBM ya, deadlift pertalite tidak ada,” ujarnya.

“Kemudian saya bawa bantuan ke pengungsi, mereka tidak ada gas untuk memasak. Mengandalkan kayu, kayunya basah, harus cari kayu yang kering,” jelas Iskandar.

Pernyataan Mendagri Dukung Pernyataan Bupati

Pernyataan Iskandar juga dibenarkan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian. Terpisah, Tito menuturkan, para kepala daerah memang tidak akan sanggup menangani bencana di wilayahnya masing-masing karena akses jalan yang tertutup. “Contohnya di Takengon, itu yang Aceh Tengah menyampaikan bahwa dia tidak mampu melayani, ya memang enggak akan mampu. Enggak akan mungkin, karena apa? karena dia sendiri tertutup (akses tertutup),” ujar Tito di Kantor Kemendagri, Jakarta Pusat, Senin (1/12/2025).

Tito menyebutkan, Provinsi Aceh memerlukan dukungan pangan yang didistribusikan melalui udara lantaran akses darat terputus. “Dia perlu untuk dukungan satu, pangan. Pangannya harus diambil dari luar, menggunakan pesawat. Dia enggak punya pesawat. Maka otomatis minta bantuan kepada pemerintah provinsi atau pemerintah pusat,” ucap Tito.

Mendagri menegaskan, pemerintah pusat akan mengambil alih distribusi bantuan tersebut. Menurut rencana, pengiriman logistik via udara berasal dari Jakarta dan Medan. Tito memahami keputusan para bupati yang menyatakan tidak mampu karena distribusi makanan terganggu akibat jalan terputus.

Saat ini, proses penanganan pasca-banjir juga sulit dilakukan karena akses jalan yang belum memungkinkan adanya penggunaan alat berat. “Bagaimana mungkin kemampuan Pemda Aceh Tengah untuk melakukan mobilisasi alat berat, untuk memperbaiki jembatan, memperbaiki jalan-jalan yang pecah, patah, memperbaiki yang longsor, tertutup,” ungkap Tito.

“Terkunci dari utara, dari Lhokseumawe, juga terkunci dari selatan. Jadi jalan-jalannya betul-betul putus,” tambahnya.

BNPB Berupaya Maksimal

Menanggapi keluhan Bupati Aceh Timur, Iskandar Usman Al Farlaky, Kepala pusat data informasi komunikasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Abdul Mahari buka suara. Abdul mengatakan, pihaknya telah berusaha semaksimal mungkin membantu pemerintah daerah dalam tanggap darurat bencana ini.

“Kita sebaiknya tidak dalam konteks membenturkan salah satu institusi dengan institusi yang lain ya, karena di kami juga sangat sangat berupaya maksimal untuk mendukung pemerintah daerah dalam melakukan tanggap darurat ini,” katanya dalam kesempatan yang sama.

Abdul juga mengatakan, pemerintah turut hadir langsung untuk membantu penanggulangan bencana ini. Bukti nyata adalah kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke lokasi untuk melihat sendiri kondisi bencana di Aceh pada Senin lalu.

“Bapak Presiden mengunjungi Aceh untuk menunjukkan bahwa pemerintah pusat juga tidak setengah-setengah dalam membantu pemerintah daerah upaya tanggap darurat ini, semua sumber daya juga Bapak Presiden sendiri menyampaikan secara maksimal akan diserahkan,” ujar Abdul dikutip dari YouTube Sekretariat Presiden.

Selain itu, kata Prabowo, pemerintah juga akan mengalokasikan anggaran untuk memperbaiki jalur yang putus hingga jembatan-jembatan yang rusak. Hingga kini, korban bencana banjir dan longsor di Provinsi Aceh masih terus bertambah.

Berdasarkan data sementara terakhir, korban meninggal dunia 156 orang dan terluka mencapai 1.838 jiwa. Bencana ini melanda 18 kabupaten/kota di Aceh beberapa waktu lalu dan menyebabkan 955.322 jiwa atau 214.940 kepala keluarga (KK) terdampak.

“Dari data sementara, korban luka ringan berjumlah 1.435 orang, luka berat 403 orang, meninggal dunia 156 orang, dan 181 orang masih dinyatakan hilang,” kata Jubir Posko Komando Kantor Gubernur Aceh, Murthalamuddin, Senin, dilansir diskominfo.acehprov.go.id.

Sementara berdasarkan data di Posko Tanggap Darurat Bencana Aceh, jumlah pengungsi hingga Senin mencapai 478.847 jiwa yang tersebar di 828 titik pengungsian di seluruh wilayah terdampak.

Selain korban jiwa, musibah itu juga menyebabkan kerusakan fasilitas umum, yakni 138 unit perkantoran, 50 unit tempat ibadah, 161 unit sekolah, 4 unit pondok pesantren. Kemudian untuk kerusakan infrastruktur antara lain ada 295 titik jalan dan 146 unit jembatan.

Sedangkan kerugian harta benda masyarakat ada 71.385 unit rumah, 182 ekor ternak, hingga lahan pertanian seperti 139.444 hektare sawah, dan 12.012 hektare kebun.

Sebagai informasi, data per kabupaten/kota tersebut dapat diakses melalui Portal Satu Data Aceh serta tautan laporan yang dibagikan Posko. Pembaruan data dilakukan secara berkala di Ruang Potda 1 Lantai 3 Kantor Gubernur Aceh, pusat operasional posko penanggulangan bencana.

“Data ini bersifat sementara dan akan terus diperbarui sesuai perkembangan di lapangan,” ujar Murthalamuddin.

Pos terkait