Menulis Tanpa Batas: Kebenaran dan Kemanusiaan yang Tidak Mengenal Label
“Passion sejati seorang penulis bukanlah pada apa yang ia tulis, melainkan pada keberanian untuk tidak membungkam suara batinnya.” -Tuhombowo Wau
Ada satu kebohongan yang terlalu lama kita telan mentah-mentah: bahwa seseorang hanya pantas menulis tentang apa yang menjadi “passion”-nya. Seolah-olah hidup ini adalah kumpulan kotak sempit, masing-masing diberi label, dan kita hanya boleh tinggal di satu kotak sepanjang hayat. Seolah-olah keberanian bersuara harus terlebih dahulu meminta izin dari kata yang bernama passion.
Padahal, menulis dengan kurungan passion justru menyiksa diri dan perlahan mengerdilkan nurani. Kita mulai meragukan diri sendiri ketika ingin menulis tentang sesuatu yang “bukan bidang kita”. Kita bertanya, mungkin orang lain lebih berhak. Mungkin kita akan terlihat sok tahu. Mungkin kita akan dianggap tidak konsisten, tidak fokus, tidak profesional.
Maka, tulisan yang seharusnya mengalir sebagai ekspresi jujur dari pikiran dan kegelisahan, akhirnya kita telan kembali. Ia mati sebelum sempat lahir. Di titik itulah, kata passion yang dulunya dipuji sebagai “api kehidupan”, berubah menjadi pagar. Bahkan penjara.
Ironisnya, penjara itu jarang dibangun oleh orang lain. Kita sendiri yang membangunnya, batu demi batu, melalui rasa takut, rasa malu, dan kebutuhan untuk diterima oleh standar yang tidak pernah benar-benar kita pilih.
Kita hidup di zaman di mana manusia didorong untuk “punya niche”, “punya branding”, “punya spesialisasi”. Kalimat-kalimat itu terdengar modern, terdengar bijak, terdengar strategis. Tapi di balik semua itu, ada bahaya yang tidak disadari: kita perlahan direduksi menjadi satu fungsi. Satu label. Satu peran.
Seolah-olah manusia hanyalah sebuah profesi berjalan, bukan jiwa yang kompleks. Padahal pikiran manusia tidak pernah hidup di satu ruangan saja. Setiap hari kita menyentuh begitu banyak hal: politik, keadilan, cinta, iman, teknologi, penderitaan, harapan, ketakutan, keindahan, kehilangan. Semuanya menyentuh kita, tanpa peduli apa “bidang keahlian” kita. Maka mengapa kita begitu mudah berkata, “Itu bukan urusan saya”?
Sejak kapan nurani harus punya sertifikat sebelum boleh bicara?
Lihatlah dunia di sekitar kita. Ketidakadilan tidak hanya mengetuk pintu para aktivis. Kecurangan tidak hanya mengganggu para ahli hukum. Luka sosial tidak hanya menyentuh para psikolog. Kemiskinan, kebijakan, korupsi, perang, teknologi kecerdasan buatan, krisis lingkungan, krisis iman, krisis moral; semua itu menyentuh kehidupan setiap manusia, setiap hari, di berbagai bentuk kecil yang nyata.
Lalu apa artinya menjadi “netral”? Apa artinya berdiam diri? Sering kali, diam bukanlah kebijaksanaan. Diam adalah ketakutan yang dibungkus oleh kata “bukan passion saya”.
Orang-orang yang menunggu passion sebagai lampu hijau untuk bersuara, tanpa sadar sedang mengkhianati bagian terdalam dirinya sendiri. Karena jauh sebelum kita mengenal passion, manusia telah dianugerahi sesuatu yang lebih purba dan lebih jujur: nurani. Dan nurani tidak mengenal batas-batas disiplin ilmu. Nurani tidak peduli pada label. Ia hanya peduli pada satu hal: kebenaran dan kemanusiaan.
Ketika kita menolak menulis tentang sesuatu yang membuat kita resah, sedih, marah, atau tersentuh hanya karena “itu bukan spesialisasi saya”, kita sedang mengecilkan suara hati itu sedikit demi sedikit. Kita melatih diri untuk tidak peka. Kita membiasakan diri untuk tidak peduli. Dan tanpa sadar, kita sedang membentuk karakter yang nyaman dalam kebisuan.
Inilah bentuk penyiksaan yang paling halus: bukan dengan cambukan, bukan dengan jeruji besi, tetapi dengan kalimat sederhana: “Sudahlah, itu bukan bidangmu.”
Banyak orang mengira tulisan yang baik harus rapi secara tema, konsisten secara topik, dan bisa dipetakan dengan mudah oleh orang lain. Maka ketika melihat seseorang menulis tentang politik hari ini, spiritualitas besok, sosial lusa, filsafat, pendidikan, teknologi, kemanusiaan, mereka menyebutnya “gado-gado”.
Namun mungkin yang sebenarnya terjadi bukan gado-gado. Mungkin itu adalah cerminan manusia yang utuh. Manusia yang tidak mau dipreteli menjadi satu dimensi saja. Manusia yang menyadari bahwa hidup ini tidak tersusun atas satu tema tunggal.
Dunia tidak pernah satu warna. Lalu mengapa tulisan kita harus begitu? Justru orang yang berani menjelajah banyak ruang lahir batin sering kali dapat melihat hubungan yang tidak dilihat oleh mereka yang terlalu lama tinggal di satu kamar. Ia mungkin tidak sedalam seorang spesialis di satu titik tertentu, tetapi ia sering lebih utuh dalam melihat keseluruhan. Dan terkadang, dunia lebih membutuhkan keutuhan daripada kedalaman yang terisolasi.
Ada paradoks di sini: orang yang luas sering disalahpahami sebagai tidak fokus. Padahal yang sebenarnya terjadi, ia hanya menolak untuk dikurung. Dan mungkin, memang tidak semua orang diciptakan untuk hidup dalam satu garis lurus. Ada yang diciptakan sebagai jembatan. Ada yang diciptakan sebagai penghubung. Ada yang diciptakan untuk melihat pola di antara kepingan yang terpisah. Ada yang diciptakan untuk bersuara di banyak ruang yang orang lain enggan masuki.
Menulis, dalam konteks itu, bukan lagi tentang passion. Ia adalah bentuk tanggung jawab terhadap kesadaran. Saya menulis bukan karena saya pakar. Saya menulis bukan karena saya ingin terlihat tahu. Saya menulis karena ada sesuatu di dalam diri saya yang menolak diam. Ada getaran yang tidak bisa dibungkam. Ada kebenaran yang ingin keluar, meski belum sempurna, meski mungkin salah, meski bisa diperdebatkan.
Diam terkadang terasa lebih aman. Tapi terlalu lama diam, justru membusukkan. Maka menulis menjadi tindakan keberanian yang sunyi: keberanian untuk berkata, “Saya ada. Saya peduli. Saya terganggu. Saya hidup.”
Jika dunia ingin menyebut ini tidak fokus, biarlah. Jika dunia ingin memberi label, silakan. Tapi saya tahu satu hal: membatasi diri hanya karena ingin terlihat rapi adalah bentuk lain dari menyiksa diri. Dan saya menolak hidup dalam penyiksaan itu.
Saya tidak bingung. Saya hanya terlalu luas untuk dipersempit. Saya bukan tidak ahli. Saya hanya menolak dikecilkan oleh satu sebutan. Saya tidak menulis untuk menyenangkan algoritma atau kategori. Saya menulis karena diam bukan lagi pilihan.
Dan jika suatu hari dunia bertanya, “Apa passion-mu?”, mungkin saya tidak akan menjawab dengan satu kata. Saya akan menjawab dengan jujur:
“Passion saya adalah bersuara saat nurani memanggil.”
Dan itu cukup.
