Empat Strategi Mitigasi Banjir di Sumatera
Pakar geomatika dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Hepi Hapsari Handayani, mengungkapkan empat upaya mitigasi yang dapat dilakukan masyarakat dan pemerintah dalam penanganan serta pencegahan banjir di Sumatera. Berikut adalah strategi-strategi tersebut:
1. Mitigasi di Hulu
Hulu merupakan titik awal terjadinya bencana karena menjadi lokasi air hujan pertama kali jatuh dan proses infiltrasi, penyerapan, serta stabilitas lereng ditentukan. Oleh sebab itu, pemulihan dan perlindungan hulu merupakan langkah pencegahan yang paling efektif.
Pemerintah perlu menetapkan kawasan hulu sebagai kawasan lindung berbasis kerentanan tinggi, melarang konversi hutan di zona sensitif, serta melakukan reforestasi dan restorasi lahan kritis. Pengawasan terhadap pembalakan liar dan aktivitas lainnya yang merusak ekosistem hutan juga perlu diperketat karena kerusakan hulu secara langsung dapat memperbesar aliran permukaan dan risiko longsor.
Masyarakat juga dapat berperan melalui praktik agroforestri, menjaga vegetasi sekitar mata air, tidak membuka lahan dengan cara tebang-bakar, dan ikut terlibat dalam rehabilitasi hutan. Jika hulu terjaga, sebagian besar risiko bencana dapat dikurangi.
2. Mitigasi di Daerah Aliran Sungai (DAS)
Daerah aliran sungai (DAS) berfungsi sebagai sistem yang mengatur distribusi air dari hulu ke hilir. Ketika DAS mengalami sedimentasi, erosi, atau perubahan tata guna lahan yang tidak sesuai, kapasitasnya untuk menahan limpasan hujan menurun drastis.
Pemerintah perlu melakukan penataan ulang DAS melalui restorasi sempadan sungai, stabilisasi lereng, serta pembenahan drainase alami dan buatan agar aliran air lebih terkendali. Kontrol terhadap pembangunan jalan kebun dan jalan konstruksi atau lainnya sangat penting dilakukan karena konstruksi yang tidak sesuai dapat mengarahkan aliran air secara langsung ke sungai dan memicu banjir bandang.
Masyarakat dapat membantu dengan menjaga vegetasi riparian, mengurangi pembuangan sampah ke sungai, dan mendukung program bersih alur sungai.
3. Mitigasi di Hilir
Hilir adalah daerah yang menerima dampak paling besar dari kerusakan hulu dan kegagalan sistem DAS. Sehingga, upaya di hilir perlu difokuskan pada perlindungan masyarakat dan infrastruktur.
Pemerintah harus memastikan normalisasi dan perbaikan kapasitas sungai, membangun sistem peringatan dini banjir dan longsor, serta menata permukiman agar tidak berada di jalur aliran debris. Relokasi menjadi opsi jika permukiman berada pada zona sangat berbahaya. Tanggul, kolam retensi, dan kanal kota dapat membantu mengurangi dampak limpasan.
Masyarakat juga perlu meningkatkan kesiapsiagaan melalui pelatihan evakuasi, pemahaman jalur evakuasi, serta kesiapan menghadapi peringatan dini. Sistem Peringatan Dini (EWS) merupakan salah satu solusi yang sangat penting dalam mengurangi korban dan kerugian.
4. Mitigasi Kebijakan
Untuk melakukan mitigasi jangka panjang, diperlukan kerangka kebijakan yang kuat. Pemerintah harus mengintegrasikan peta kerentanan bencana ke dalam RTRW dan RDTR sehingga kawasan hulu otomatis menjadi kawasan lindung yang tidak dapat dialihfungsikan.
Mulai dari izin perkebunan, tambang, dan pembangunan infrastruktur juga harus mengacu pada analisis risiko DAS, bukan hanya aspek ekonomi. Audit perizinan penting dilakukan untuk meninjau izin-izin yang berada di zona rawan. Penguatan pengawasan lapangan merupakan bagian penting dari tata kelola yang lebih baik.
Masyarakat dapat mendukung kebijakan ini melalui keterlibatan dalam forum DAS, kelompok tani hutan, atau pengawasan berbasis komunitas. Sinergi kebijakan pusat serta daerah dan partisipasi masyarakat menjadi kunci keberhasilan mitigasi struktural.
Solusi Permanen untuk Mengatasi Bencana Banjir Bandang dan Longsor
Solusi permanen untuk memutus siklus bencana banjir bandang dan longsor di Sumatera adalah menjadikan kawasan hulu sebagai Kawasan Konservasi berbasis Kerentanan Tinggi. Hulu merupakan wilayah paling menentukan dalam menjaga kestabilan Daerah Aliran Sungai (DAS). Sebab, hulu adalah tempat proses penyerapan air, pengaturan debit sungai, dan penguatan struktur tanah.
Kawasan dengan karakteristik lereng curam, tanah rapuh, tutupan hutan alami, serta fungsi hidrologi penting, seperti mata air, headwater, dan zona resapan, secara ekologis tidak layak dijadikan area perkebunan monokultur, tambang, atau lokasi pembukaan lahan baru.
Oleh sebab itu, wilayah seperti ini wajib ditetapkan sebagai kawasan lindung dalam dokumen RTRW dan RDTR untuk memberikan perlindungan hukum yang jelas dan mengikat. Dengan memasukkan kawasan hulu ke dalam peta kerentanan tinggi dan menjadikannya dasar hukum penataan ruang, maka pemerintah bukan hanya melindungi area sensitif, tetapi juga memulihkan fungsi DAS secara keseluruhan.
Penyerapan air akan meningkat, aliran permukaan menurun, erosi bisa ditekan, dan kestabilan lereng kembali terjaga. Dalam jangka panjang, langkah ini juga secara signifikan mengurangi risiko banjir bandang dan longsor, menurunkan biaya kerusakan, serta memastikan pembangunan ekonomi masyarakat tetap berkelanjutan.
Pendekatan tata ruang berbasis kerentanan ini merupakan strategi paling efektif untuk menjaga keamanan ekologis Sumatra di era cuaca ekstrem dan perubahan iklim.
