Warga Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat Menghadapi Ancaman Penyakit Pasca-Banjir
Setelah hampir dua pekan banjir bandang dan longsor melanda sebagian wilayah di Sumatra, khususnya di Provinsi Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, warga masih berjuang menghadapi ancaman penyakit. Di tengah upaya pemulihan, prakiraan hujan lebat kembali mengancam.
Di salah satu pengungsian di Bireun, Aceh, Nurhamah, seorang ibu yang bertahan bersama anaknya, menjelaskan situasi darurat tersebut. “Ambil di sungai. Kalau enggak pakai air sungai, enggak ada air,” ujarnya dengan nada pasrah. Ia menyebut keluarganya sudah bertahan seperti ini selama lebih dari satu minggu.
“Gatal, ini sudah mulai luka-luka ini dia (anak saya),” kata Nurhamah, sembari menunjukkan ruam di kulit anaknya. “Makanan perlu, kebutuhan bayi juga perlu. Belum ada satupun bantuan yang kami terima,” ujarnya kepada DW Indonesia.
Nurhamah bukan satu-satunya, masih banyak korban terdampak lain yang tidak punya akses ke air bersih dan minimnya suplai sanitasi, sementara tekanan akan kebutuhan dasar terus meningkat.
Potensi Lonjakan Penyakit Pascabencana
Kementerian Kesehatan mengingatkan adanya potensi lonjakan dua penyakit pascabencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. “Kondisi pasca-banjir berpotensi menyebabkan meningkatnya kasus DBD dan Leptospirosis,” ujar Kepala Pusat Krisis Kesehatan, Agus Jamaludin, seperti dikutip dari Kompas. Ia juga mengingatkan bahwa lingkungan lembap dan minim sanitasi menjadi pemicu cepat penyebaran kedua penyakit tersebut.
Di lapangan, tenaga medis juga menyampaikan kekhawatiran serupa. Melansir Kompas, dr. M. Ifany, dokter spesialis bedah yang tergabung dalam salah satu tim kesehatan untuk korban banjir, menyebut banyak pengungsi yang menderita demam, sesak napas, dan penyakit kulit. “Kondisinya tergolong mengkhawatirkan karena pengobatan sering tertunda akibat keterbatasan akses,” ujarnya.
Distribusi Bantuan Tersendat
Ratusan wilayah masih terisolasi, distribusi bantuan tersendat. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah bersama organisasi kemanusiaan dan relawan mengatakan telah menyalurkan bantuan logistik berupa makanan pokok, air bersih, obat-obatan, selimut, serta kebutuhan darurat ke berbagai titik terdampak.
Mengutip Kompas, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Pratikno mengatakan distribusi bantuan berlangsung dari berbagai pihak dan dalam jumlah besar. “Kita telah mengirimkan lebih dari 500.000 ton bantuan dari berbagai pihak, baik itu paket sembako, makanan siap saji, obat-obatan, tenda, selimut, serta bantuan langsung lainnya untuk warga terdampak, termasuk daerah yang jalur aksesnya terputus,” kata Pratikno.
Namun situasi yang DW pantau di sepanjang perjalanan dari Pidie Jaya menuju Bireuen menunjukkan bahwa penyaluran bantuan masih jauh dari memadai. Banyak kampung di daerah Peudada, Bireuen, tetap terisolasi akibat jembatan ambruk, jalan tertimbun longsor, serta akses yang tidak aman untuk menyeberangi sungai.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 5 Desember 2025 mencatat sebanyak 266 wilayah di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat masih belum bisa dijangkau oleh bantuan apa pun. Kondisi ini menyebabkan sebagian warga hidup hanya dengan persediaan seadanya, tanpa kepastian kapan bantuan makanan dan obat akan tiba.
Evakuasi korban dan distribusi logistik bergerak sangat lambat karena medan ekstrem, arus sungai yang deras, serta minimnya bahan bakar dan peralatan untuk menjangkau wilayah terpencil. Dalam keadaan seperti ini, kelompok rentan seperti bayi, balita, ibu hamil, lansia, dan warga yang sedang sakit menjadi pihak yang paling terancam. Setiap keterlambatan pengiriman bantuan tidak hanya memperbesar risiko penyakit dan kelaparan, tetapi juga membuka potensi meningkatnya korban jiwa.
Infrastruktur Lumpuh dan Akses Layanan Dasar Terputus
Banjir bandang di Sumatra juga merusak sebagian besar jaringan infrastruktur. Menurut rilis resmi BNPB per 5 Desember 2025, tercatat lebih dari seribu unit rumah rusak, ratusan fasilitas publik seperti fasilitas pendidikan dan kesehatan, serta ratusan jembatan dan fasilitas penting lainnya ikut terdampak. Kerusakan ini menutup banyak jalur utama transportasi dan memutus koneksi antarwilayah yang sebelumnya menjadi akses distribusi barang dan layanan dasar.
Kerusakan jaringan jalan dan jembatan penghubung membuat banyak desa berada dalam kondisi terisolasi. Bagi warga yang tinggal di sisi sungai atau lereng, perjalanan menuju rumah sakit atau puskesmas bisa memakan waktu berjam-jam dan dalam beberapa kasus hanya bisa dilakukan melalui jalur ekstrem seperti menyeberangi sungai dengan perahu atau menggunakan jalur darurat.
Kondisi ini diperparah dengan terputusnya listrik dan telekomunikasi di sejumlah titik, sehingga korban kehilangan kemampuan untuk meminta pertolongan, mengabari keluarga, atau mengakses informasi penting.
Korban Banjir di Sumatra Terus Bertambah
Banjir ini telah merenggut nyawa dan menghancurkan rumah serta kehidupan banyak keluarga. Berdasarkan pembaruan data resmi BNPB per 5 Desember 2025, tercatat 867 orang meninggal dunia, 521 orang masih hilang, dan sekitar 4.200 orang mengalami luka. Ribuan warga mengungsi setelah tempat tinggal mereka rusak atau hilang diterjang banjir dan longsor.
Dampak bencana tidak hanya bersifat langsung. Warga yang mengungsi kini menghadapi keterbatasan akses air bersih, sanitasi, dan layanan kesehatan, yang menempatkan mereka dalam risiko lebih tinggi terhadap penyakit infeksi dan gangguan kesehatan lainnya.
Sejumlah laporan dari pemerintah daerah dan organisasi penanggulangan bencana menunjukkan bahwa kebutuhan mendesak saat ini mencakup pemulihan akses air bersih, fasilitas sanitasi, dan layanan kesehatan untuk mencegah potensi peningkatan kasus penyakit di lokasi pengungsian. Pendataan lanjutan masih berlangsung seiring upaya pembukaan akses dan pemulihan infrastruktur dasar.
BMKG: Waspadai Curah Hujan
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dalam rilis Prospek Cuaca Mingguan periode 5 sampai 11 Desember 2025 memproyeksikan curah hujan sedang hingga tinggi masih akan terjadi di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Ketiga provinsi ini tetap berada dalam zona cuaca basah dengan potensi hujan lebat pada beberapa hari ke depan.
BMKG meminta warga dan relawan untuk waspada terhadap curah hujan signifikan karena berpotensi memicu genangan, banjir, dan longsor di wilayah rawan.
Peristiwa banjir bandang dan longsor yang terjadi di Sumatra merupakan bagian dari bencana hidrometeorologi. Salah satu faktor pemicunya adalah pengaruh Siklon Tropis Senyar yang meningkatkan pembentukan awan hujan serta memperkuat intensitas curah hujan di sejumlah wilayah. Kondisi atmosfer serupa masih dapat meningkatkan risiko banjir dan longsor, terutama di area yang sebelumnya sudah terdampak.
