Kekhawatiran Pemberi Kerja terhadap Gen-Z: Etika, Karakter, dan Semangat yang Salah Pahami?

AA1RMR2p



Beberapa tahun terakhir, pemberi kerja di berbagai sektor, mulai dari manufaktur hingga layanan kreatif, mengeluhkan perilaku angkatan kerja paling baru: Generasi Z. Mereka dianggap “kurang loyal”, “mudah menyerah”, “tak tahan tekanan”, hingga “tidak punya etika kerja yang solid”. Media sosial memperkuat narasi ini lewat cerita-cerita tentang anak muda yang silent quitting, menolak lembur, atau keluar kerja hanya karena merasa “tidak cocok”. Namun, apakah benar masalahnya terletak pada lemahnya daya juang Gen Z? Atau justru dunia kerja yang tak lagi mampu menyesuaikan diri dengan perubahan nilai, etika, dan cara berpikir generasi baru?

Keresahan yang Muncul dari Pemberi Kerja

Dalam beberapa tahun terakhir, banyak pemberi kerja menyampaikan keresahan yang serupa mengenai perilaku dan pola kerja Generasi Z. Mereka menilai disiplin waktu dan komitmen kerja generasi ini semakin melemah, ditandai dengan kebiasaan mengajukan izin atau cuti saat merasa tidak dalam kondisi terbaik. Tidak sedikit perusahaan yang menyebut Gen Z mudah menyerah ketika menghadapi tekanan atau ketika pekerjaan tidak sesuai ekspektasi awal. Di saat yang sama, keberanian Gen Z untuk bersuara, menuntut fleksibilitas, serta mempertanyakan aturan kerja yang dianggap tidak relevan sering ditafsirkan sebagai sikap manja atau kurang sopan. Selain itu, gaya interaksi yang egaliter sering berbenturan dengan struktur kerja yang masih sangat hierarkis, sehingga muncul persepsi bahwa mereka sulit diatur atau kurang hormat pada senioritas. Kombinasi persepsi inilah yang kemudian membentuk pandangan bahwa Gen Z memiliki daya juang dan etika kerja yang lebih rendah dibanding generasi sebelumnya.

Benarkah Gen Z Lemah Etika dan Daya Juangnya?

Anggapan bahwa Gen Z adalah generasi yang lemah sebenarnya terlalu menyederhanakan realitas. Riset global menunjukkan bahwa generasi ini tidak kekurangan etika kerja; mereka hanya memiliki etika kerja yang berbeda. Gen Z sangat menekankan kesehatan mental, kebermaknaan pekerjaan, dan keseimbangan hidup, nilai yang sering tidak diprioritaskan generasi sebelumnya. Bagi banyak perusahaan yang mempertahankan pola kerja lama, penekanan pada well-being sering keliru dipahami sebagai ketidakmampuan menghadapi tekanan. Padahal, Gen Z tumbuh dalam konteks sosial-ekonomi yang unik: mereka melalui masa pendidikan yang terguncang pandemi, menghadapi ketidakstabilan ekonomi global, dan dibesarkan dalam dunia digital yang bergerak cepat. Semua faktor ini membentuk karakter yang lebih reflektif dan selektif. Mereka bukan tidak mau berjuang, tetapi tidak ingin mengorbankan kesehatan mental atau menerima praktik kerja yang dianggap tidak wajar. Ketika mereka meninggalkan pekerjaan, itu bukan karena lemah, tetapi karena mereka melihat struktur yang tidak mendukung perkembangan jangka panjang.

Dari Mana Sebenarnya Kecemasan Pemberi Kerja Berasal?

Kecemasan yang muncul di kalangan pemberi kerja tampaknya lebih banyak berasal dari ketidaksiapan organisasi beradaptasi dengan perubahan generasi. Banyak perusahaan masih mengandalkan budaya kerja tradisional yang menuntut jam kerja panjang, struktur top-down, dan loyalitas jangka panjang tanpa banyak ruang dialog. Ketika Gen Z mempertanyakan efektivitas proses atau meminta kejelasan arah karier, perusahaan sering merasa “diganggu” atau dipertanyakan otoritasnya. Transformasi digital juga memperbesar jurang ini. Gen Z terbiasa bekerja secara cepat, kolaboratif, dan efisien, sementara perusahaan yang konservatif masih beroperasi dengan pola birokratis. Selain itu, definisi loyalitas juga mengalami pergeseran. Loyalitas yang dulu diukur dari lamanya masa kerja kini berubah menjadi kualitas hubungan professional, apakah pekerja merasa dihargai, didengar, dan diberi ruang berkembang. Ketika definisi ini tidak dipahami, benturan nilai antara perusahaan dan generasi muda pun tak terhindarkan.

Bagaimana Dunia Kerja Seharusnya Merespons?

Untuk mengatasi ketegangan antar-generasi, perusahaan perlu melihat fenomena ini bukan sebagai masalah, tetapi sebagai momentum untuk mendesain ulang sistem kerja. Banyak bukti menunjukkan bahwa fleksibilitas yang rasional, fokus pada capaian alih-alih jam kerja, serta kepemimpinan empatik mampu meningkatkan keterikatan Gen Z. Mereka bekerja lebih efektif ketika arah dan ekspektasi jelas, ketika ada ruang untuk memberi pendapat, dan ketika atasan berperan sebagai mentor, bukan sekadar pengawas. Ketahanan kerja atau resilience juga dapat dibangun, tetapi bukan melalui tekanan berlebih. Program coaching, peer support, komunikasi dua arah, serta kesempatan untuk mengambil peran yang menantang justru lebih efektif dalam menumbuhkan daya juang. Dengan memberikan ruang kreativitas, kejelasan karier, dan budaya feedback yang sehat, perusahaan tidak hanya menyesuaikan diri dengan karakter Gen Z, tetapi juga membuat organisasi semakin relevan di era digital.

Gen Z: Masalah atau Peluang?

Melihat karakter Generasi Z secara lebih holistik menunjukkan bahwa mereka sebenarnya membawa potensi besar bagi organisasi modern. Kemampuan adaptasi digital, kreativitas tinggi, serta kepekaan terhadap isu etika dan keberlanjutan dapat menjadi modal penting bagi perusahaan yang ingin bertransformasi. Melabeli mereka sebagai generasi “lemah” hanya akan menutup peluang untuk memanfaatkan energi dan perspektif baru yang mereka bawa. Tantangannya bukan mengubah Gen Z agar sesuai dengan pola lama, tetapi memperbarui pola kerja agar sejalan dengan nilai generasi masa depan. Dengan pendekatan yang tepat, Gen Z bukan beban, melainkan katalis untuk inovasi, efisiensi, dan transformasi budaya kerja. Pada titik ini, jelas bahwa keresahan pemberi kerja lebih mencerminkan fase transisi nilai dalam dunia kerja daripada kelemahan generasi itu sendiri. Yang dibutuhkan adalah kesediaan untuk beradaptasi, memahami, dan membangun sistem kerja yang manusiawi dan relevan.

Penutup

Keresahan pemberi kerja terhadap Gen Z tidak sepenuhnya keliru, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Ini adalah benturan nilai antara dua paradigma dunia kerja. Menghadapi generasi baru membutuhkan pendekatan baru: lebih empatik, lebih adaptif, dan lebih manusiawi. Pada akhirnya, bukan soal apakah Gen Z punya daya juang yang lemah, tetapi apakah dunia kerja masa kini mampu memberi ruang bagi karakter dan etika kerja yang sedang berevolusi.

Pos terkait