Kota yang Terpuruk
Bau anyir air bercampur lumpur tebal menggambarkan suasana di Aceh Tamiang. Di udara, aroma bangkai yang menyengat menancap tajam, menciptakan kesan bahwa kota ini telah berubah menjadi “kota zombie”—sunyi, porak-poranda, dan penuh keputusasaan. Setelah lebih dari sembilan hari tragedi banjir bandang memporak-porandakan kehidupan, warga setempat merasakan dampak yang sangat luar biasa.
Di tengah lanskap kehancuran itu, ada kisah-kisah ketahanan yang menyayat hati. Fitriana (53), warga Desa Lintang Bawah, Kecamatan Kuala Simpang, mengenang kengerian yang tidak pernah ia alami sepanjang hidupnya. Gelombang air datang begitu cepat, menyeret balok-balok kayu gelondongan, mengubah rumah-rumah menjadi puing dalam sekejap. Ia bahkan menyaksikan seorang penyintas lain yang harus bertahan di atas atap rumah bersama anaknya, yang baru berumur empat tahun, selama tiga hari tanpa makan dan tanpa minum.
Saat malam hari, keadaan semakin mencekam: gelap gulita, suara arus banjir yang kencang, disertai gemuruh hantaman kayu ke rumah-rumah. Di Desa Lintang Bawah saja, sekitar 90% rumah warga hancur, dan sekitar 300 kepala keluarga kini kehilangan tempat tinggal. Fitriana dan lima kepala keluarga lain, saudara kandungnya, kini hanya mampu membangun posko swadaya dari bekas-bekas kayu yang tersisa.
Perhatian Pemerintah Pusat
Melihat skala kehancuran yang masif dan kisah pilu yang muncul dari daerah-daerah terisolir, pemerintah pusat kini turun tangan dengan komitmen maksimal. Sabtu, 6 Desember 2025, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) RI Letjen TNI Suharyanto tiba di Aceh Tamiang untuk meninjau langsung dampak bencana. Kunjungannya ke posko penanganan banjir di Desa Paya Bedi, Kecamatan Rantau, menjadi penegasan bahwa pemulihan wilayah ini akan menjadi perhatian khusus.
“Presiden Prabowo Subianto telah memerintahkan untuk dapat membantu Aceh Tamiang semaksimal mungkin,” kata Suharyanto, dikutip dari Antara pada Ahad. Kepala BNPB yang diterima Bupati Aceh Tamiang Armia Fahmi dan Wakil Bupati Ismail, meminta agar Pemerintah Daerah (Pemda) segera menyampaikan data kebutuhan secara rinci. Suharyanto menjanjikan kecepatan respons.
“Stok kita banyak, ada di posko Kualanamu, Deli Serdang, Sumatera Utara. Saya tunggu apa kebutuhan dan segera kita penuhi,” ujarnya.
Kebutuhan Mendesak di Tengah Duka
Sementara bantuan logistik telah berdatangan, Bupati Aceh Tamiang Armia Fahmi menyampaikan tiga hal utama yang sangat krusial bagi upaya penanganan pascabencana, terutama untuk menjangkau wilayah pedalaman yang masih terisolir. Pertama, kebutuhan akan kendaraan untuk menerobos daerah yang terisolir, dan kedua, kendaraan untuk mengangkut sembako. Bantuan ini secara spesifik merujuk pada perahu karet dengan spesifikasi khusus untuk mengarungi wilayah yang sulit dijangkau.
Kebutuhan ketiga, dan yang paling mencerminkan dampak sosial bencana, adalah shelter dan tenda. “Kami juga butuh banyak shelter karena banyak tempat tinggal warga yang hilang,” ujar Armia.
Data sementara rekap bencana Aceh Tamiang hingga 6 Desember 2025 menunjukkan duka mendalam. Tercatat 57 jiwa meninggal dunia dan 22 jiwa hilang. Korban mengungsi mencapai 262.087 jiwa. Sementara itu, kerusakan fisik sangat parah: 780 unit rumah hanyut, 35 unit rusak sedang, dan 2.262 unit rusak ringan.
Di tengah keterbatasan dan keterlambatan bantuan yang sempat membuat warga nekat menjarah toko swalayan dan toko grosir demi persediaan makanan, kunjungan Kepala BNPB menjadi secercah harapan. Aceh Tamiang kini menanti realisasi perintah Presiden untuk bangkit dari statusnya sebagai “kota zombie”, dan memulai pembangunan kembali di atas puing-puing trauma yang tersisa.
