Bencana Tanah Longsor di Kabupaten Bandung
Pada Jumat, 5 Desember 2025, wilayah Kabupaten Bandung kembali mengalami bencana tanah longsor. Sebuah tebing dengan ketinggian puluhan meter di Kampung Condong, Desa Wargaluyu, Kecamatan Arjasari, tiba-tiba ambruk dan menimbun sejumlah rumah warga. Peristiwa ini menyebabkan tiga orang dilaporkan hilang hingga saat ini.
Berdasarkan hasil penelusuran awal, musibah ini diduga kuat dipicu oleh perubahan fungsi kawasan hutan yang sebelumnya berfungsi sebagai penyangga tanah, namun kini telah beralih menjadi kebun palawija. Kondisi tersebut membuat tanah lebih rentan bergerak, terlebih ketika diguyur hujan deras.
Sekretaris Daerah Jawa Barat, Herman Suryatman, menjelaskan bahwa Pemerintah Provinsi langsung turun tangan begitu laporan diterima. Namun ia menegaskan bahwa persoalan di Arjasari tidak bisa hanya dikaitkan dengan cuaca ekstrem.
“Hasil asesmen kami, bencana longsor kemungkinan besar disebabkan alih fungsi lahan, dari hutan menjadi kebun palawija, yang kemudian dipicu curah hujan yang sangat tinggi,” ujar Herman, Sabtu 6 Desember 2025.
Ia memaparkan bahwa kawasan perbukitan Arjasari memang memiliki kemiringan yang cukup ekstrem dan dikenal rawan terjadi pergerakan tanah. Ketika area hutan dibuka menjadi lahan pertanian, struktur akar yang berfungsi mengikat tanah hilang, membuat tebing semakin rentan runtuh.
Di tengah situasi darurat tersebut, Pemprov Jabar kini memusatkan perhatian pada upaya pencarian tiga warga yang belum ditemukan, sekaligus memastikan bantuan logistik tersalurkan dengan cepat.
“Kami ditugaskan Pak Gubernur untuk bergerak cepat membantu proses evakuasi dan distribusi logistik,” katanya.
Longsor besar ini meninggalkan material tanah dan bebatuan yang menimbun rumah warga, memaksa sejumlah penduduk mengungsi sementara. Proses evakuasi dan penanganan darurat masih berlangsung, dengan sejumlah tim SAR gabungan dikerahkan ke lokasi untuk mempercepat pencarian korban yang hilang.
Pemerintah daerah kini mempertimbangkan langkah jangka panjang, termasuk penataan kembali kawasan rawan longsor serta upaya rehabilitasi hutan yang sebelumnya berubah fungsi. Musibah ini menjadi peringatan keras mengenai pentingnya menjaga keseimbangan lingkungan di wilayah perbukitan yang rentan bencana.
Walhi Ingatkan Jabar Potensi Bencana
Peringatan keras kembali disampaikan Walhi Jawa Barat terkait kondisi lingkungan di provinsi tersebut. Organisasi itu menilai Jabar kini menghadapi ancaman bencana ekologis yang skalanya bisa menyamai hingga melampaui banjir bandang dan longsor besar yang pernah terjadi di Aceh, Sumatra Utara, hingga Sumatra Barat.
Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, Wahyudin Iwang, menegaskan bahwa daerah ini memiliki tingkat kerentanan bencana yang sangat tinggi. Menurutnya, berbagai jenis bencana bisa mengancam kapan saja, mulai dari tsunami, letusan gunung berapi, tanah amblas, puting beliung, banjir bandang hingga longsor.
Ia menilai faktor pemicunya tidak lepas dari tingkat kerusakan lingkungan yang semakin meluas dari tahun ke tahun.
“Bencana ekologis tersebut sangat mungkin bisa terjadi serupa di Jawa Barat, bahkan alam bisa lebih dari itu untuk mengingatkan kita semua,” kata Wahyudin dalam keterangan resminya, Selasa 2 Desember 2025.
Alih Fungsi Lahan Semakin Masif, Area Resapan Air Menyusut Cepat
Wahyudin juga menyoroti perubahan fungsi lahan di wilayah imbuhan, area yang memiliki peran penting menyerap air. Banyak kawasan yang dulunya merupakan persawahan produktif kini berubah menjadi lahan properti, wisata, hingga industri.
Akibatnya, area imbuhan semakin hilang dari tahun ke tahun. Walhi mencatat penyusutan area imbuhan mencapai 20 hektare per tahun, seiring derasnya izin mendirikan bangunan (IMB) yang terus dikeluarkan pemerintah.
Ia menegaskan bahwa pemerintah diduga turut andil dalam kerusakan lingkungan karena terus memberikan izin proyek di kawasan yang seharusnya dilindungi.
“Walhi menyatakan diduga pemerintah sendiri yang ikut andil melegitimasi kerusakan lingkungan, hal tersebut dapat dilihat dari masih banyaknya Izin-izin yang keluarkan di kawasan yang memiliki fungsi penting, selain itu tidak ada upaya perbaikan dan pemulihan. Saat ini saja, lahan kritis 900 ribu hektare masih tidak direboisasi atau reforestasi dengan serius oleh pemerintah,” kata dia.



