Peran dan Kewenangan Rais Aam dalam NU
Ketua Tanfidziyah PCNU Makassar, Usman Sofian, menjelaskan bahwa kewenangan Rais Aam dalam organisasi Nahdlatul Ulama (NU) berasal dari AD/ART dan peraturan perkumpulan. Dalam AD/ART Pasal 14, Syuriah bertugas sebagai pembina yang mengawasi pelaksanaan kerja organisasi, sementara Tanfidziyah berfungsi sebagai pelaksana kebijakan.
Dalam acara Ngobrol Virtual: Konflik PBNU: Islah dan Peran Kiai-Kiai Sepuh, Usman Sofian hadir sebagai narasumber bersama Prof Firdaus Muhammad, Wakil Ketua PWNU Sulsel di Studio Tribun Timur. Menurutnya, peraturan perkumpulan juga menegaskan bahwa Rais Aam atau Syuriah merupakan pimpinan tertinggi NU, sekaligus pengendali dan penentu kebijakan. Oleh karena itu, kewenangan di NU melekat pada jabatan, termasuk pada Rais Aam.
Jika dipahami bahwa Rais Aam adalah pemimpin tertinggi yang menentukan arah organisasi, maka munculnya risalah pemberhentian Gus Yahya sebagai Ketua Umum dapat dimaknai sebagai bagian dari kewenangan tersebut—terutama dalam konteks penyelamatan dan menjaga wibawa organisasi.
Apakah Rais Aam Bisa Memberhentikan Ketua Umum PBNU?
Usman Sofian menjelaskan bahwa terkait kewenangan Rais Aam, pertanyaannya adalah apakah beliau memiliki kewenangan mutlak atau yang sekarang sering disebut sebagai hak veto. Jika bicara hak veto, praktik paling jelas terlihat biasanya terjadi dalam proses permusyawaratan pemilihan.
Contohnya, seorang calon ketua umum atau calon Tanfidziyah di berbagai tingkatan telah memenuhi seluruh syarat administratif dan mendapat dukungan yang diperlukan. Namun pada tahap akhir, calon tersebut tetap harus memperoleh persetujuan Rais Syuriah atau Rais Aam terpilih. Sekalipun semua syarat telah terpenuhi dan dukungan sudah cukup, jika calon itu tidak mendapatkan persetujuan Rais Syuriah, maka pencalonannya bisa batal.
Dari sinilah kita memahami posisi Syuriah sebagaimana diatur dalam peraturan organisasi NU. Dalam konteks polemik saat ini, Gus Yahya menggunakan dasar-dasar organisasi bahwa sebagai mandataris Muktamar, pergantian Ketua Umum harus melalui Muktamar. Artinya, wilayah dan cabang sebagai pemilik suara harus dilibatkan.
Perbedaan cara pandang inilah yang membuat diskusi menjadi sangat tajam hari ini—karena ada perbedaan perspektif dalam membaca aturan organisasi. Kalau ditanya secara pribadi, bagi saya NU itu berpatron pada ulama. Simbol tertinggi secara struktural ada pada Rais Aam. Dari situ pandangan saya terbentuk.
Banyak Pihak Menilai Keputusan Syuriah Tidak Sah. Bagaimana Tanggapan Anda?
Firdaus Muhammad menjawab sebagai pribadi, bukan sebagai utusan PWNU. Disertasi dan pengukuhan guru besar saya semuanya berkaitan dengan NU. Ia juga menulis buku tentang satu abad komunikasi politik NU.
Menurut Firdaus, ini justru momentum memperlihatkan kepada publik bahwa NU dipimpin oleh otoritas tertinggi, yaitu para kiai dan ulama. Dalam banyak kesempatan, Gus Yahya sangat takzim kepada Kiai Miftah. Di jejak digital jelas terlihat, siapapun yang tidak takzim kepada Rais Aam, baiatnya bisa gugur.
Gus Yahya pun selama ini sangat hormat—bahkan pernah memayungi beliau. Dari peristiwa ini, marwah Syuriah justru kembali ditegaskan. NU menempatkan ulama sebagai pemimpin tertinggi, sementara Tanfidziyah adalah pihak menjalankan roda organisasi; eksekutor. Syuriah-lah yang memberi arah keagamaan, sosial, dan kenegaraan.
Dua Alasan Pemberhentian Dinilai Abstrak
Misalnya soal Zionis—itu memang isu penting, namun Gus Yahya sudah beberapa kali melakukan Tabayyun. Ia menjelaskan bahwa langkahnya bertemu pemimpin Israel adalah cara langsung untuk membela Palestina. Soal undangan narasumber, itu juga sudah dinyatakan sebagai kekeliruan yang tidak terpantau.
Begitu pula soal keuangan. Kalau itu menjadi masalah, mekanismenya jelas: diperiksa Inspektorat dan dipertanggungjawabkan dalam LPJ. Namun secara pribadi, saya membaca ada persoalan krusial di PBNU yang belum terungkap ke publik. Jika tidak segera diselesaikan, itu bisa menjadi bom waktu yang mereduksi NU.
Prof Mahfud MD sudah memberi sinyal soal ini. Misalnya isu pengelolaan tambang yang diduga melibatkan pihak ketiga dan belum ada titik temu di internal pengurus.
Polemik Ini Juga Dibaca Sebagai Pra-Kondisi Menjelang Muktamar
Karena Gus Yahya diperkirakan maju lagi dengan dukungan infrastruktur jam’iyah, tidak menutup kemungkinan ada pihak internal atau eksternal, termasuk partai politik, yang ingin mempengaruui NU. Ini bukan hal baru. NU sudah berkali-kali berhadapan dengan kekuatan politik negara.
Prestasi NU sebagai organisasi sangat besar. Dari Ketua Tanfidziyah yang kemudian menjadi Presiden (Gus Dur), hingga Rais Aam aktif yang menjadi Wapres (KH Ma’ruf Amin). Banyak tokoh NU juga menjadi menteri—Muhaimin, Nusron Wahid, Saifullah Yusuf, Nazaruddin Umar, hingga Menteri Haji Irfan Yusuf.
Justru di titik ini kekhawatiran muncul—jangan sampai NU semakin ditarik masuk pusaran politik yang bisa mengganggu keutuhannya sebagai jam’iyah. Karena itu, solusi terbaik tetap islah.
Islah Sebagai Jalan Tengah
Pertemuan di bandara kemarin sudah menjadi langkah awal menuju islah. Di NU, persoalan seringkali selesai setelah duduk bersama, bahkan sebelum topik pokok dibahas. Pengalaman Gus Dur menunjukkan itu. Berbeda pendapat dengan KH Arsyad Syamsul Arifin, KH Ali Yafie, bahkan pamannya sendiri—semua bisa selesai lewat silaturahmi.
Saya melihat ini bukan persoalan pribadi, melainkan persoalan penyelamatan jam’iyah. Pengurus Syuriah memahami masalah-masalah yang terpantau, lalu merumuskannya dalam bahasa yang dapat diterima publik tanpa memicu konflik.
Di jajaran Syuriah ada kiai sepuh seperti KH Afifi Muhajir, ulama ahli fiqih yang sangat santun. Beliau ikut menandatangani keputusan tersebut. Itu menunjukkan bahwa keputusan diambil oleh para faqih yang memahami konsekuensinya.
Itulah sebabnya Gus Dur pernah menolak menjadi Rais Aam. Beliau menganggap jabatan itu milik para ahli fiqih. Dulu, duet KH Sahal Mahfudz dan Gus Dur berjalan sangat harmonis. Gus Dur paham fiqih, KH Sahal lebih dalam lagi, sehingga otoritas keilmuannya menyelesaikan banyak persoalan.
Sekarang, harapannya sama: otoritas keilmuan Syuriah dan kewenangan yang dimiliki bisa mengarahkan langkah menuju islah.
