Danramil Nusaniwe Ambon Diduga Arogan Bongkar Plang Tanah Warga, Ini Fakta Terbaru

Ambon – Sebuah kejadian yang memicu kontroversi terjadi di kawasan OSM, Negeri Urimessing, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon. Sejumlah oknum TNI aktif yang dipimpin Danramil Nusaniwe diduga melakukan pengrusakan baliho hukum milik ahli waris sah Jozias Alfons. Peristiwa ini terjadi tanpa surat perintah resmi dan tanpa koordinasi dengan pemerintah negeri atau kepolisian.

Baliho yang dirusak memuat pemberitahuan resmi mengenai status hukum tanah berdasarkan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (No. 656/1980 hingga No. 916 PK/Pdt/2024). Isi baliho juga mencantumkan larangan bagi pihak manapun untuk melakukan kegiatan di atas tanah adat tanpa izin ahli waris. Selain itu, baliho tersebut bertindak sebagai peringatan bahwa tanah tersebut berada di bawah pengawasan hukum dan adat Negeri Urimessing.

Evans Reynold Alfons, ahli waris sah dari almarhum Jacobus Abner Alfons, menjelaskan bahwa tindakan yang dilakukan oleh oknum TNI bukan sekadar kesalahan prosedur, tetapi penghinaan terhadap hukum dan adat. “Pangkat bukan tiket untuk melawan putusan pengadilan,” ujarnya kepada wartawan.

Menurut Evans, tindakan tersebut memenuhi unsur tindak pidana umum sebagaimana diatur dalam KUHP Pasal 406 (perusakan barang milik orang lain), Pasal 167 (memasuki pekarangan tanpa izin), dan Pasal 385 (menguasai tanah milik orang lain secara melawan hak).

Selain itu, tindakan tersebut dinilai bertentangan dengan konstitusi dan peraturan nasional, termasuk Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 tentang pengakuan hak masyarakat adat; Pasal 3 UUPA No. 5 Tahun 1960 tentang hak ulayat dan adat; serta Pasal 180 HIR yang melarang tindakan fisik terhadap objek sengketa sebelum adanya eksekusi pengadilan.

Evans menegaskan bahwa baliho hukum yang dirusak bukan alat politik, melainkan pengumuman resmi yang dilindungi oleh undang-undang tentang Kebebasan Berekspresi dan Keterbukaan Informasi Publik. “Baliho itu menunjukkan fakta hukum. Merusaknya sama saja menutup mata masyarakat terhadap kebenaran,” ujarnya.

Sementara itu, Semi Waeleruny, pengacara senior di Maluku, menilai aksi pembongkaran papan pelarangan tersebut tidak hanya melanggar etika hukum, tetapi juga merusak citra TNI di tengah masyarakat. Ia menyampaikan permintaan agar Pangdam XV/Pattimura menegur bawahannya agar tidak lagi mengambil langkah-langkah seperti itu.

Waeleruny menjelaskan bahwa kasus sengketa tanah di kawasan OSM sudah pernah diperkarakan pada tahun 2013, ketika 97 kepala keluarga menggugat Pangdam terkait aktivitas Angkatan Darat yang dinilai mengganggu dan memaksa warga meninggalkan tempat tinggal mereka. Hasil dari gugatan tersebut adalah kedua gugatan baik konvensi maupun rekonvensi sama-sama ditolak oleh pengadilan.

Dari kesaksian saksi fakta Ely Soplely dan saksi ahli Prof. Roni Titahelu, terungkap bahwa penguasaan tanah oleh militer kala itu dilakukan melalui cara okupasi (perampasan). Waeleruny menegaskan bahwa dalam putusan di tingkat banding Kodam sendiri menarik kembali gugatannya yang diajukan, sehingga putusan pengadilan sebelumnya memiliki kekuatan hukum tetap.

“Jadi keputusan itu final. Dan itu hanya berlaku untuk tanah di OSM, bukan di tempat lain,” tegasnya.

Keluarga ahli waris kini menyiapkan laporan resmi ke POM, kepolisian, Komnas HAM, dan Komnas TNI agar tindakan oknum militer di lahan sengketa tidak terulang. “Kami tidak akan diam. Pangkat dan seragam tidak bisa menindas hak kami yang sah. Ini bukan soal dendam, tapi keadilan!” pungkas Evans.

Related posts